Saturday, December 31, 2016

Kabisat


Hai Desember,
Apa kabar?
Akhirnya hari ini datang juga.
31 Desember datang dengan nostalgia setelah melalui 365 hari yang penuh dengan cerita-cerita yang berbeda.
31 Desember kembali setelah menunggu giliran dengan 365 hari lainnya ditahun 2016. Giliran untuk membawa kita membuat daftar resolusi baru untuk hari yang baru.
Sudah saatnya bagiku untuk menutup lembaran lama dan menatap ke depan. Ke hari-hari baru yang belum ku sentuh. Setelah menggoreskan gurat-gurat cerita di 2016 yang sempat menjadi cerita yang mengharu biru dan cerita tentang 2016 yang bahagia.
2016 yang penuh kehilangan.
2016 yang penuh kehadiran orang baru juga.
2016 yang menurutku kontras.
Kita hidup dengan kekontrasan yang diberi Tuhan. Selalu ada sinonim dibalik antonim. Selalu ada hitam dibalik putih. Hari ini banyak kenangan-kenangan yang mampir datang ke ingatanku. Ditambah hujan datang sebentar. Mengetuk-ngetuk pintu kenanganku. Banyak sekali hal yang ku lalui ditahun 2016 ini.

Mulai dari momen Graduation Ceremony ku yang menjadi tanda akhir dari masa SMA ku dan aku harus bersiap untuk pendidikan di universitas. Akhirnya seorang Megan mulai kuliah!
Kemudian aku harus dioperasi karena ada sesuatu yang tidak beres dengan diriku.
Ada juga kenangan yang akhirnya mempertemukanku dengan tempat yang tidak pernah ku kunjungi sebelumnya.
Lalu aku bisa mengikuti #30HariMenulisSuratCinta dan syukurlah, ada beberapa surat cintaku yang menjadi favorit mereka. 
Dari sekian banyak kenangan di 2016 ini, yang paling menyakitkan adalah momen kehilangan. Kehilangan yang membuatku meneteskan air mata seharian penuh.


Kehilangan mama. (Baca : kakak dari ibuku)
Kehilangan orang yang ku cintai. Semenjak aku mengangkat telepon dari bapak disuatu pagi pada bulan Agustus, hariku seketika berubah menjadi hari yang berduka. Kini mama sudah menempati rumah barunya di Surga. Bersama impian-impiannya yang terkubur selamanya. Begitu jauh jarak yang terbentang antara aku dan mama. Hanya doa-lah yang mampu menembus jarak yang begitu jauh. Bahkan sampai sekarang, jika aku teringat mama, air mataku menetes sendiri. Maafkan aku, Ma.

Lalu aku kehilangan sosok malaikat tanpa sayapku. (Baca : dia)
Untuk yang satu ini, mungkin aku masih bisa melihatnya. Dari kejauhan. Dari dunia maya. Di hari-hari terakhir 2016 ini, sesungguhnya aku sangatlah merindukannya. Merindukan keberadaan dia yang biasanya disampingku. Biasanya. Kali ini keadaan bukanlah sekedar biasanya. Kadang hidup kita dipenuhi dengan keadaan yang kita nilai biasanya. Kemudian biasanya itu mampu menjadi momen yang selamanya. Sayangnya, dia belum bisa menjadi selamanya untukku. Tapi, dia mampu menjadi selamanya dikenanganku. Abadi.
Aku tahu, aku tidak pantas merindukanmu. Lalu salahkah aku jika aku merindukanmu? Sudahlah, kau sudah menentukan pilihanmu. Begitu pula aku.


Lalu, dibalik kehilangan orang-orang yang berpengaruh bagi hidupku, aku juga menemukan keluarga baru yang bisa menambah daftar orang-orang yang ku cintai. Kau tahu siapa mereka? Teman sekelasku di universitas. Jadi, aku berpikir bahwa dibalik sebuah kehilangan pasti ada pertemuan baru. Yang sekaligus mampu menjadi pelipur lara.
Tahun ini adalah Tahun Kabisat. Tahun yang istimewa bagi Februari karena harinya diperpanjang satu hari. Dan itulah kesempatan untuk berulang tahun bagi mereka yang lahir di 29 Februari. Selamat menunggu 4 tahun lagi! :)
Dihari terakhir 2016 ini, aku ingin berterima kasih kepada 2016. Kau merupakan pintu bagiku untuk menemukan dunia yang baru. Sekaligus menjadi pembentuk impianku untuk hari-hari yang siap ku jelajahi. Sesungguhnya berat rasanya harus berpaling dari 2016. Begitu indah bagiku. Penuh senyum dan kesedihan di 2016.

Terima kasih atas segala kejadian indah yang jika aku mengingatnya, aku bisa tersenyum. Bahkan membuatku tertawa.
Terima kasih juga atas momen kehilanganku yang membuatku mampu terpukul. Tapi bisa membuatku berdebat dengan hatiku tentang apa itu arti sabar.


Terima kasih, 2016. Selamat Tinggal.

Buat 2016,
-M

Saturday, October 29, 2016

Terkenang-Kenang

Buat : Kawan Karib Saya ketika SMA.

Hai.
Apa kabar kalian semua?
Sebenarnya kita masih sering bertemu tempo hari.
Sebenarnya kita masih sering bertukar kabar antara satu sama lain.
Sebenarnya rindu ini masih bisa ku bendung dengan melihat-lihat foto masa lampau.
Sebenarnya hati ini terus berteriak ingin bertemu.
Tapi jarak dan waktu begitu berbeda sekarang. Kali ini jarak dan waktu begitu sulit untuk dikejar menggunakan sebuah pertemuan. Tapi menurutku jarak dan waktu yang terbentang luas diantara kita dapat dikejar melalui sebuah untaian kata penuh harap kepada Sang Pencipta-- doa. 
Percayalah, doaku padamu akan sampai tepat waktu.

Kerinduan ini begitu mencekik. Terkadang kerinduan ini serasa memekik dan memenuhi telingaku yang terbiasa dengan lelucon-lelucon remeh milik kita. Teringat sekejap dibenakku akan kebiasaan kita di sekolah; tempat kita mengawali semua ini mulai dari saling bertukar nama hingga kita saling bertukar rahasia. Seperti biasa, kita selalu duduk di pojok koridor lantai 3 yang menjadi tempat kita menghabiskan hari-hari terakhir memakai seragam osis dan kotak-kotak oranye. Waktu itu aku masih ingat, hari itu adalah seminggu sebelum Ujian Nasional datang. Tak rindukah kau pada hal itu? 


Terhitung sekitar lima bulan sudah sejak Hari Kelulusan. Hari dimana kita memulai langkah yang baru menuju bangku universitas. Dan syukurlah, kita bisa melanjutkan masa belajar kita hingga ke dunia perkuliahan. Ada beberapa diantara kita yang membentangkan sayapnya menuju kota orang nan jauh disana. Ada beberapa yang masih berkutat di kotanya sendiri, Solo. Seperti aku. Kampusku hanya berjarak dekat sekali dengan kediamanku-- kata orang hanya 5 langkah dari rumah. Kota ini akan selalu menjadi tujuanmu pulang, kawan. Ku harap sebuah cerita tentang perantauan dari kota orang akan menjadi topik hangat saat tiba hari dimana kita akan bertemu. Ah, kangen.

Ada sebuah kutipan yang pernah ku cantumkan ditulisanku dalam instagram ku : 

"Rindu akan menghantarkanmu pulang. Ke dekapanku."


Aku percaya itu. 
Aku percaya akan kekuatan rindu akan menyatukan siapapun yang terhalang jarak sejauh apapun.
Bila kau tak sanggup membendung rindumu,
Pergilah.
Biarlah aku yang membendung rindumu yang menyesakkan.

Jaga ikatan persahabatan ini sebaik mungkin. Okay?

Salam rindu,
Megan. Yang terlalu merindukanmu.

8 Top Songs for my Morning Playlist

Hi! Selamat Pagi!
Hari ini aku ingin sedikit berbagi tentang lagu-lagu yang sering ku putar saat akan beraktifitas, tentunya pada saat pagi hari. And this is my morning playlist for this month guys!


#1 Banda Neira with they song : Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti

#2 M83 with they ambitious song : Wait

#3 Rusa Militan with they full of compassion song : Senandung Senja

#4 Keira Knightley with they song from "Begin Again" : Lost Stars

#5 Naya Anindita with her slow song : Never Be Enough

#6 Birdy with her lovely song : I Never Forget You

#7 Iron & Wine with they memorable song : Each Coming Night

and the last one is, 

#8 Kodaline with they sadness song : All I Want


Here my 8 top songs for my morning playlist that I played in the morning with a cup of warm milk, chocolate or strawberry toast and I looked at the morning sky from my room. Kadang ngerasa heran kenapa bisa jatuh cinta banget sama lagu-lagu yang ada di playlist itu. Kalau kalian bertanya-tanya kenapa kok aku memilih lagu-lagu itu karena memang selera aku dalam hal musik itu nggak tergantung jaman dan bisa dibilang kudet sama lagu-lagu yang jadi the most played on social media path, hehe. Genre musik aku mungkin bisa dibilang indie dan slow tempo gitu deh. Dan sebenernya masih banyak banget lagu-lagu yang ada di playlist Windows Media Player-ku yang belum aku sebutin di list itu, maybe next time I will write on the next post.

Okay, I think that's enough. Don't forget to create a playlist for your morning. Happy sunday everybody!

Tuesday, October 4, 2016

Tentang Senja, Genggaman Tangan, dan Sedikit Hujan.

Buat : yang Tercinta, Rizky Ov dan Dwi Astuti.


Di suatu pagi Bulan Desember yang sedikit berawan, aku dan beberapa siswa sekolahku sedang berlatih sebuah persembahan panitia acara sekolah yang akan kami tampilkan saat final nanti. Saat itu mungkin adalah saat terbaik untuk berlibur, menghabiskan waktu untuk tidur seharian, atau bahkan menghabiskan waktumu yang berharga bersama orang yang istimewa--orang yang kau cintai. Tapi, bagi orang sepertiku, akhir tahun ini menjadi hari-hari tersibukku. Kupikir akhir tahun ini akan menjadi sebuah sederet kisah tak terlupakan bagiku. Bahagia? Sudah pasti.
"Akhirnya aku menerima dia jadi pacarku!" Ujar Wiwik seraya memelukku. Kubalas pelukannya dengan sepaket jeritan dan loncatan bahagia.
"Akhirnya kau tidak jomblo lagi. Langgeng, Wik!"

                                  ***

Hampir 2 tahun terlampai sejak suatu pagi dipenghujung tahun 2014 yang penuh cerita bahagia. Cerita tentang sebuah cinta yang baru. Cerita yang menjadi alasan mengapa setiap orang yang mendengar ceritanya spontan mengucap selamat kepada yang bercerita. Semua orang tersenyum bahagia saat itu. Termasuk juga aku. Aku tersenyum setiap kali melihat Wiwik selalu mengetik sesuatu diponselnya dan kemudian mengirimkannya kepada seseorang yang baru saja menjadi sandarannya. Diantara dinginnya udara Desember, ada sebuah cinta yang sudah siap menghangatkan. Tapi, perlu kau ketahui, bahwa kini keadaan bukan lagi seperti 2 tahun yang lalu. Waktu telah membawa kita pada sebuah perubahan.

Banyak masalah datang silih berganti. Pertengkaran menjadi hal yang biasa. Kata pergi menjadi sebuah kata yang tak tabu untuk diucapkan. Tetapi ketauhilah, sebuah kepergian bukanlah keputusan yang baik. Karena kepergian akan selalu meninggalkan sebuah luka bagi yang ditinggalkan. Dan sebuah rasa penyesalan akan terbesit dihati orang yang pergi-- yang meninggalkan. Semua orang akan merasa puas ketika dirinya mampu meninggalkan orang yang dinilainya memiliki kesalahan fatal. Tetapi setelah itu, rasa penyesalan akan datang. Cepat atau lambat. Penyesalan tidak pernah salah arah. Setiap individu memiliki pilihan. Pilihan untuk tetap bersama ataupun pilihan untuk pergi. Jika kau memilih sengaja pergi untuk kembali, yakinlah bahwa kepergian sementaramu itu tidak membuktikan apapun. Apa kau pikir menjadi orang yang ditinggalkan adalah suatu hal yang mudah? Tidak menurutku.

                                  ***

Menggenggamlah dengan penuh kerinduan.
Berpelukanlah dengan segala rasa ketakutanmu.
Bertatapanlah agar kau tahu bagaimana rasanya melihat bayangan dirimu dikilau matanya.
Berdekatanlah selalu agar kau tahu arah kemana kau harus pulang.

Rumah tak perlu selalu mewah.
Rumah tak harus berlantai keramik-keramik berkilauan bak permata.
Rumah adalah disaat kau dan aku bersama.
Dalam kenyamanan seirama yang kita ciptakan.
Bukan hanya sekedar metamorfosa.

Rumah adalah saat kita menikmati senja bersama 2 cangkir teh yang kubuat untuk kita berdua.
Meresapi keromantisan dibawah senja yang temaram.
Berangan-angan tentang sebuah impian belaka.
Atau sebuah cinta yang akan menjadi selamanya.
Semua orang berhak mempunyai angan.
Kau dan aku juga bisa berandai-andai tentang sesuatu yang kita anggap gila.

Rumah adalah ketika kita berteduh dari kejamnya hujan yang membasahi tubuh kita.
Berlari ke tempat yang bisa memberi kita sebuah sekejap perlindungan.
Sembari menunggu air hujan tak lagi deras,
Kita bercerita.
Bertukar ego kita berdua.
Berbagi wawasan tentang hujan.
Atau sekedar bercerita tentang rencana akan membawa jas hujan sebelum berangkat.
Atau malah ketika kau memberikan jaketmu kepadaku,
Dan kau bilang, "kamu saja yang pakai, biar kamu nggak kedinginan."
Padahal aku tahu,
Kau juga kedinginan.


Jagalah cintamu selagi bisa. Selagi hujan masih sering turun mengguyur Kota Solo diawal Oktober ini. Saat matahari masih suka menengok kita saat waktu siang datang. Saat kau masih bisa menggenggam tangannya untuk kesekian kalinya. Biarkan cinta membawamu kepada arah yang tepat. Arah menuju rumah yang bisa membuatmu paham akan sesuatu yang membahagiakan-- cinta. Keberhasilan untuk pergi menjauh tak membuktikan siapapun untuk menjadi pemenang.
Pemenang ialah mereka yang mampu bertahan dalam setiap keadaan. Entah mampu bertahan untuk membendung kesedihannya atau malah mampu untuk mempertahankan sebuah kebahagiaan agar menjadi selamanya.
Pemenang ialah mereka yang selalu berpikir baik. Tidak memandang segalanya dari sudut keburukan.
Pemenang ialah mereka yang saling menguatkan. Bukan hanya saling melengkapi.

Solo, 4 Oktober 2016.

Salam Hangat,
Megan. Yang beberapa hari ini sering bertemu rintik hujan.

Saturday, August 20, 2016

Ku Titipkan Rinduku pada Pinus-Pinus itu

Buat yang waktu itu bersamaku : Dina, OV, dan Wiwik.

"Sayang, liat deh. Motorku seksi banget 'kan?"
"Besok kalau sudah menikah, aku akan membangun panti rehabilitasi untuk orang yang sakit jiwa. Kamu setuju 'kan?"
"Sayang, maafin aku. Aku tidak lolos tes masuk universitas."
"Aku sedih sayang, nilaiku jelek. Aku kasihan orang tuaku. Aku sedih karena tidak bisa ngasih nilai bagus ke mereka."
"Sayang, mau dong dibersihin komedonya. Mukaku sudah kotor sekali."
"Sayang, les mu udah selesai? Aku jemput ya."
"Ayo kita beli waffle sayang. Itu makanan kesukaanku."
"Dulu jaman aku masih SMP, setiap pulang sekolah pasti ibuku ngajak aku makan mie bandung disini."
"Sayang, besok temenin aku kondangan ya."

Suara itu terngiang-ngiang dikepalaku sepanjang jalan kota Yogyakarta. Melihat orang-orang berlalu lalang dijalanan. Beberapa dari mereka yang sedang berada dijalanan, ada yang mengendarai sepeda motor seperti yang kau miliki. Membuatku teringat pada dirimu. Sepeda motor itu seperti kekasihmu keduamu. Banyak ide-ide kreatif khas anak motor yang kau tuangkan pada sepeda motormu yang berwarna kombinasi orange-hitam-putih itu. Kemudian kau bawa untuk membelah jalan raya Kota Solo yang romantis. Banyak cerita yang kita bicarakan diatas sepeda motor itu. Ah, rindu sekali.

"Sayang, aku kopdar dulu ya."
"Wah, aku suka sekali roti tawar rasa pandan. Menurutku ini yang paling enak dari semua roti!"
"Nggak habis makananmu? Yaudah sini, sayang. Biar aku habiskan."
"Sayang, Ibu dirumah masak sambel terasi nggak?"
 "Sayang, aku pilek. Pusing kepalaku."
"Kamu marah kenapa, sayang?"
"Maafin aku ya, sayang. Aku tadi lagi neduh dipinggir jalan. Jadi tadi nggak bisa ngabarin kamu."
"Ya Allah, sayang.. Kamu harus mau dioperasi sayang. Aku nggak mau kamu sakit begini terus."

 Kenangan itu. Suara itu. Banyak sekali. Tapi, ada yang selalu melekat dikepalaku dan selalu membuatku merasa runtuh.

"Kamu sayang sama aku 'kan, sayang?"

Itu dulu. Dua minggu yang lalu tepatnya.

                                            ***

"Megan, kamu kenapa? Kok diam saja?" Pertanyaan Wiwik, temanku, membuatku sedikit mengangkat kepalaku yang bertumpu dengan manis pada tanganku yang bersandar ke kaca mobil.
"Hei, aku nggak apa-apa, Wik. Hanya ingin menikmati perjalanan saja."
"Kangen dia ya?" Aku hanya tersenyum simpul ketika pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir temanku.
"Iya. Aku kangen."

Iya. Memang benar. Kerinduanku muncul begitu saja tanpa direncanakan. Rindu akan selalu muncul bagi orang-orang yang memutuskan untuk berjalan ke arah yang dipilih. Melangkah ke jalan baru tanpa ada orang yang sama disisinya. Kini aku berjalan ke arah yang kupilih, tanpa ada dirimu lagi. Setelah kebohonganmu mulai terungkap pada malam itu, kau putuskan untuk pergi. Semua itu cukup untuk membuatku larut dalam kepedihan yang mendalam. Seperti butiran gula yang larut di setiap es teh yang kau minum.

Aku tak pernah siap dengan sebuah kepergian. Kepergianlah yang mengajarkan kita untuk percaya dan tabah. Banyak hal yang kau ajarkan kepadaku. Tetapi, kau tidak pernah mengajarkanku bagaimana caranya untuk kuat. Karena, kita berdua sama-sama percaya bahwa cinta mampu membendung keinginan untuk pergi. Dan ternyata? Sebuah nama lain diluar sana membuatmu pergi. Kepergian yang baik adalah kepergian yang tak pernah kembali. Untuk apa kembali jika kepulanganmu itu hanya untuk mengulang sebuah kesalahan yang sama? Yang ku maksud kepergian disini adalah kepergian sebuah rasa cinta. Hampa. Sesak.

Hembusan angin kering yang masuk tanpa permisi ke dalam mobil membuat diriku semakin merasa larut dalam nostalgia pahit. Memang aku meminta untuk mematikan AC. Karena, kurasa angin disini ramah untuk dinikmati. Ku arahkan pandanganku pada cuaca cerah diluar sana dan membiarkan wajahku diterpa semilirnya angin. Kupejamkan mataku. Ku lepas rasa hampa dihari-hariku tanpa dirimu. Lalu, saat kubuka mataku perlahan, rasa itu sedikit berkurang. Lantunan nada dari lagu favoritku, How Could You dari The Triangle terdengar sayup-sayup indah. Kami berempat hanya diam di mobil dengan kesibukan masing-masing yang membelenggu.
OV yang fokus mengendarai mobil.
Dina yang agak mengantuk karena angin menerpa dirinya.
Wiwik yang menahan mual karena jalanan yang berliku-liku.
Tak ada yang bicara hingga akhirnya ada papan kayu yang bertuliskan "Hutan Pinus Mangunan".
Akhirnya kita sampai disini. Di Hutan Pinus. Tetapi, tanpa kamu.

                                            ***

Bau khas pohon pinus memenuhi hidungku setiap aku menarik napas disini. Cahaya mentari yang menyorot lembut diriku diantara dahan-dahan pinus yang tinggi. Ku tengadahkan kepala untuk melihat pada bagian teratas sang pinus yang begitu jauh diatasku. Begitu tinggi dan kokoh. Aku membayangkan kau juga ada disini.
Kau pasti senang berada disini.
Kau pasti suka ketika udara sejuk menyergap ketika kau membuka jaket.
Kau pasti suka saat lelahmu selama perjalanan penuh lika-liku terbayarkan dengan suasana indah yang tercipta.
Kau pasti tersenyum saat melihatku melangkah diantara pohon-pohon pinus dengan penuh kebahagiaan.
Kau yang selalu tersenyum saat aku tertawa bahagia.
Sekaligus, kau juga yang selalu mengerucutkan bibirmu saat aku bersedih.
Setidaknya kau pernah menjadi yang terbaik. Terbaik pada masanya. Semua manusia seperti itu, akan menjadi yang terbaik pada masanya. Tetapi, tak semua manusia menjadi yang terbaik hanya pada masanya saja. Ada pula manusia yang menjadi terbaik untuk selamanya. Selamanya. Kata selamanya itu berat. Maka dari itu, tidak semua orang mampu bertahan untuk selamanya. Hanya orang-orang kuat yang mampu menjadi selamanya ketika semuanya runtuh. Dan kau bukan orang itu.

Kami berempat menyusuri jalan setapak yang dibuat rapi dengan riang. Kami senang, rencana dadakan yang kami buat, menjadi kenyataan. Mengingat kemarin malam, Wiwik mengajakku untuk bergabung dengannya, OV dan Dina hanya lewat chat. Hanya bermodal tekad dan sedikit uang, kami berangkat. Dan sekarang, kami berada disini. Terima kasih, Tuhan. Engkau mengirimkan sahabat-sahabat yang sudah seperti saudara-sedarah kepadaku yang sedang rapuh ini. Memang hanya Tuhan Yang Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Apapun yang diberikan Tuhan itu yang terbaik. Apapun.

Apakah kau juga meyakini bahwa apapun yang diberikan Tuhan itu yang terbaik untukmu?

Kuharap jawabannya ialah, Iya.

                                            ***

Sang pinus bergerak perlahan karena tiupan angin hutan yang ramah. Tak jarang ada kembang dari pinus yang jatuh mengagetkanku. Aku memungutnya. Mengamati detail dari kembang itu. Mataku berbinar-binar saat aku menggenggam kembang pinus yang mekar dengan sempurna. Baiklah, akan kusimpan kembang yang kupungut tadi itu. Untuk mengingatkan aku pada sebuah kebahagiaan kecil yang dibuat oleh sahabat-sahabatku untukku. Lalu, pada apalagi aku harus menitipkan sepotong rinduku yang tak berujung ini? Rinduku ini untukmu. Untuk kita. Untuk kebersamaan kita. Lagi-lagi, nostalgia pahit datang menyergap diriku. Tentang kepergianmu; membuatku teringat akan sesuatu yang dulu pernah kita bicarakan dengan menggebu-gebu. Tentang pinus, cahaya sang surya yang lembut menembus dahan-dahan pinus yang kokoh, dan tanah yang sedikit lembab. Sayangnya, aku merasakan impian kita tanpa kamu sekarang.

Aku sadar,
Kau telah mengajarkanku sebuah rasa untuk bertahan.
Kau telah mengajarkanku sebuah cara untuk berdiri.
Kau telah mengajarkanku sebuah keyakinan untuk hari yang lebih baik.
Dengan kepergianmulah, aku menjadi seseorang yang sadar.
Bahwa tidak semua pelajaran yang kau ajarkan kepadaku itu harus dengan cara kita bersama. Ada sebuah pelajaran pahit yang kau ajarkan kepadaku dengan cara yang tak semua orang suka.

Melalui sebuah perpisahan. Ya, perpisahan.

Kini aku berdiri diantara pohon-pohon pinus yang begitu tinggi. Aku mempunyai sebuah kebiasaan yang selalu kulakukan ketika rasa sedih datang. Ku tutup mataku. Ku tarik napas panjang. Ku hembuskan perlahan. Dan yang terakhir, ku buka mataku. Ku buka mataku perlahan, dengan harapan ketika ku buka mataku kau ada disana. Tersenyum kepadaku.
Sayangnya, kau tidak ada disana saat kubuka mataku. 

Pinus, aku titipkan rinduku pada dahan-dahanmu yang kokoh. Sampaikan salam rinduku padanya, saat dia sudah menginjakkan kakinya kesini. Jadilah saksi bisu atas senyum lebarnya yang kurindukan. Bersama orang baru. Orang yang dia temukan dalam pengkhianatan.

Salam,
Megan. Yang merindukanmu.
 

Thursday, August 4, 2016

Infus Pertama, Operasi Pertama : Tanpa Rasa Sakit. Akhirnya.

Ada seorang dokter yang masuk ke ruang operasi, tapi bukan dr.Issa. Lalu, aku melayangkan pandanganku pada lampu diatas. Aku merasa sangat ingin memejamkan mataku sekarang. Kupejamkan mataku. Setelah itu, aku terlelap. Dan aku tak tahu apa yang terjadi setelah itu.

Mungkin operasi sudah dimulai

                                            *** 

Apakah kau tahu bagaimana rasanya tidur tanpa bermimpi?
Apakah kau tahu bagaimana rasanya setiap hari terbayang-bayang akan sesuatu yang ada pada dirimu dan kau tak mengerti apa itu sebenarnya?
Apakah kau tahu bagaimana rasanya minum obat setiap dua belas jam sekali?
Kini aku terpejam tanpa bermimpi apapun.
Semuanya gelap.
Ini bukanlah sekedar tertidur dengan lelap.
Aku terlelap tanpa rasa sakit.
Diantara kegelapan yang mendekapku,
Ada sesuatu yang samar,
Ketika aku bertemu dengan hal yang samar itu,
Aku merasakan bahagia.
Dalam lelapku tanpa mimpi itu aku merasa bahagia.
Entah kemana perginya sesuatu yang 'samar' itu.
Aku tak pernah ingat itu apa. Hingga sekarang.
Aku tak bisa menjelaskannya disini.
Terlalu rumit.
Ada orang-orang yang setia menunggu diluar sana.
Termasuk juga dia.
Tapi aku merasa nyaman sekali berada di kegelapan ini.
Tenang.
Tanpa rasa sakit.
Dan sedikit rasa dingin.

Sudah. Cukup. Saatnya untuk bangun.

                                            *** 

Kubuka mataku perlahan. Sedikit pusing rasanya. Lampu besar yang tadinya berada diatasku kini hilang. Aku terbangun dengan selang oksigen ada dihidungku. Dengan kekuatanku yang seadanya, kulayangkan pandanganku pada sebelah kanan dan kiriku. Ada yang sudah siuman, ada yang belom siuman. Aku menggigil tak henti-henti. Dingin sekali disini. Kucoba untuk menggerakkan tanganku. Ah! Perih sekali diketiak kananku. Baru kusadari, operasiku sudah selesai. Aku merasa lemah sekali. Aku coba untuk melihat apa yang mengganjal di dalam bajuku. Ada perban besar yang ada di ketiak kananku, tempat dimana benjolanku selama ini bersarang.
"Kenapa dek? Dingin ya? Saya tambah selimutnya." Seorang suster mendatangi dan membawa 1 selimut lagi.
"Dingin, suster.." Jawabku lemah.
Kini ditubuhku ada sebuah luka. Luka yang akan menjadi sebuah bekas. Itulah yang akan menjadi pengingatku bagaimana rasanya menjadi seseorang yang diperhatikan dan selalu dihantui ketakutan. Kontras. Selalu ada ketenangan dibalik kegelisahan. Entah ketenangan yang dibawa orang lain, atau ketenangan yang kita buat sendiri.

Sudah saatnya aku untuk keluar dari IKB. Suster yang tadi mengantarku ke IKB ternyata sudah menunggu di pintu keluar. Aku tak ada daya lagi. Seluruh tubuhku dingin dan aku menggigil tak henti-henti. Aku sudah ditempatkan di bed ku yang lama. Bed yang kupakai dikamar. Suster mendorongku keluar IKB. Seketika keluargaku, sahabat-sahabatku dan juga dia langsung menghampiriku untuk segera menuju ke kamar. Lemas dan tak berdaya, tubuhku masih merasa dingin meskipun sudah ada diluar sini. Dengan sigap, suster langsung memasukkanku ke dalam lift agar aku segera masuk ke kamar lagi. Sayangnya hanya ada ibu dan Joey yang bisa masuk ke lift ini. Kugenggam tangannya, tangan Joey. Hangat sekali.
"Sayang... dingin sekali. Aku nggak bisa berhenti menggigil." bisikku pelan.
"Sabar sayang. Setelah ini hangat kok."

                                            *** 

Kepalaku hanya bisa menengadah ke atas. Aku tak bisa banyak gerak sekarang. Tangan sebelah kananku tak bisa kugerakkan karena masih perih sekali dan rasanya kemeng. Sahabat-sahabatku mengelilingi tempat tidurku. Ada yang memegang kakiku. Mereka bilang kakiku dingin sekali. Maka dari itu mereka memegangnya supaya kehangatan dari tangannya mereka bisa menyalur ke kakiku. Aku terus menggigil. Diruanganku hanya terdengar suara gigiku yang saling berpagutan karena aku menggigil. Tak pernah aku merasa seperti ini sebelumnya. Ibu membelai rambutku.
"Bu, Megen nggak bisa berhenti menggigil.." Kataku kepada Ibu hingga air mataku keluar sedikit.
"Loh, Megan nggak boleh nangis. Kamu sudah sembuh, Gan." Pada saat airmataku turun sedikit, teman-temanku berbicara seperti itu.
"Dulu Ibu juga gini waktu abis operasi caesar. Nggak papa dek." Kata ibu pelan. Kulihat disisi kananku, sudah ada Joey. Dia menatapku lekat-lekat. Aku melihat sekelilingku. Sahabat-sahabatku ada disini. Untukku. Beberapa saat setelah itu, aku berhenti menggigil. Aku merasa membaik. Sekali lagi ku lihat apa yang kini berada di ketiak kananku. Ada sebuah kapas dan perban. Membalut luka operasi dengan manis disana.

Beberapa waktu aku membelai wajah Joey dengan pelan. Aku tersenyum kepadanya. Dia menggenggam tanganku yang sedang membelai wajahnya.
"Terima kasih sudah menemani aku, sayang. Kamu pulang saja nggak papa, kamu harus istirahat. Mandi juga jangan lupa ya.." Ujarku kepadanya.
"Iya sayang, kamu cepet sembuh ya. Istirahat biar kamu bisa pulih lagi. Biar nanti setelah bekas jahitan kamu sembuh, kita bisa jalan-jalan ke Gramedia. Beli komik kesukaan kamu, Miiko. Ya, sayang?"
"Tentu saja aku mau, sayang. Aku nggak sabar buat sembuh."

Setelah itu banyak orang yang datang silih berganti. Termasuk suster yang selalu memasukkan obat-obatan, vitamin ke dalam infusku. Terkadang infusku berwarna kuning, kadang infusku bening. Besok aku sudah bisa pulang.

Aku menengok ke arah jendela. Aku bisa melihat pemandangan yang kusukai. Yaitu, ratusan atap gedung. Lagi. Aku bisa memandangnya lagi. Dengan keadaanku yang sudah sembuh.


                                            *** 

Aku sudah sembuh sekarang. Kini aku tinggal merawat bekas operasiku ini. Terima kasih Tuhan. Engkau telah mengirimkan orang-orang yang mencintaiku dan aku juga mencintai mereka semua.
Buat dr.Issa, seorang dokter yang friendly dan suka bertanya tentang kuliah. Dokter luar biasa!
Buat Bapak, Ibu, Logan dan Rama. Keluargaku yang setia menungguku di Rumah Sakit.
Buat Dhilla, orang pertama yang menjengukku.
Buat Nafi'ah, orang pertama yang ku telepon setelah jarum infus menancap ditanganku.
Buat Adit, Satomo, teman-teman lelaki yang berisik dikamar rawat inapku.
Buat Devi dan Dimas, pasangan cinta yang membawa roti-roti kesukaanku.
Buat Pasya, Novi, sahabat dekat rumah yang ijin mau les ternyata malah menjengukku di Rumah Sakit.
Buat Nabila, Mas Nadiem, Natiqa, sekumpulan orang yang nge-snapchat ku ketika aku akan masuk ruang operasi.
Buat Wiwik, Ov, sahabatku yang ingin menangis ketika melihatku menggigil. Kata mereka, "aku nggak tega melihatnya seperti itu!"
Buat Dina, sahabatku sedari SMP yang menemani Ibu untuk menginap di Rumah Sakit.
Buat Jyesta, Irfan, Gigih, Angga, Abu, Ridho, Khatib, sahabat-sahabat lelaki yang datang malam-malam sambil membawa sate, donat dan keceriaan di kamarku.
dan satu lagi,

Buat Joey, seorang laki-laki tangguh yang menemaniku dari aku masuk Rumah Sakit hingga aku pulang ke rumah. Seorang laki-laki yang meneleponku hanya untuk bertanya ingin dibawakan apa. Seorang laki-laki yang mengoleskan alkohol ketika tanganku terasa kemeng. Seorang laki-laki yang bertindak layaknya dokter dan dia serba tahu.

Terima kasih semuanya. Aku sudah kembali seperti dulu. Namun, kini ditubuhku tidak lagi seperti dulu. Ada goresan mungil yang ada di ketiakku. Yang dulunya ada seperti benjolan. Dan aku kira itu hanya perubahan bentuk. Ternyata, itu harus dioperasi. Terima kasih sudah menemani, memberi bibit cinta yang singkat di sebuah kamar kecil tempatku dirawat. Ini adalah hadiah terindah dari Tuhan. Untukku.


Sampai Jumpa.
Salam hangat dari orang yang dioperasi waktu itu,

Megan.

Thursday, July 21, 2016

Infus Pertama, Operasi Pertama : Sudah Waktunya Terlelap.

"Nggak papa sayang, itu wajar. Rasanya kemeng kan?" bisiknya di telingaku, seakan-akan dia bisa membaca kebingunganku.
"Hehe, iya nggak papa, dokter. Nanti juga ilang rasanya."

Setelah itu, dia terlelap di sampingku. Menunggu waktu aku di operasi. Sebentar lagi sayang.



Baju khas untuk orang yang akan dioperasi sudah aku kenakan saat suster datang dan mengganti kaos yang kukenakan dari rumah. Baju yang sudah kukenakan ini berbentuk baju biasa pada umumnya. Namun, yang ini berkancing belakang. Sebenarnya bukan berkancing, tapi bertali. Sekali lagi aku melihat pemandangan ratusan atap gedung yang ada di luar jendela. Aku pasrah. Semoga aku bisa melihat pemandangan seperti itu lagi. Orang-orang silih datang-pergi. Sahabat-sahabatku telah datang. Meramaikan ruangan. Tetapi, sebenarnya hati ini hampa.
"Hai Me, gimana? Cepet sembuh ya. Jangan takut." Kata Dhilla, temanku yang waktu itu datang lebih awal untuk menjengukku. Aku mengangguk dan tertawa bersama dia. Setidaknya jangan dibawa tegang. Santai.

Waktu cepat sekali berlalu, tak terasa sudah 2 bulan aku sudah bolak-balik ke RS hanya untuk memantau perkembangan benjolanku. Selama itu pula, Ibu dan Joey selalu memberi support dan menanyakan bagaimana rasanya punya benjolan yang tak semua orang punya seperti itu. Aku tak pernah berpikir sebelumnya tentang operasi. Tetapi, pikiran itu hilang seketika aku melihat seorang laki-laki yang selalu duduk di sebelah kananku, menatapku dengan tatapannya yang menghawatirkanku, menyentuhku seakan-akan tak akan ada kata perpisahan diantara kami.

"Dia sudah seperti infus bagiku. Menyakitkan tetapi menyelamatkan."

 

Jam 14.30 WIB
Sudah setengah jam lagi aku akan masuk ruang operasi. Debar jantungku semakin kencang terasa. Aku menghela napas. Ternyata Joey melihatnya.
"Kamu kenapa, sayang?"
"Kamu tahu aku. Aku takut. Aku takut ninggalin kamu." Joey menggeleng keras.
"Itu nggak akan terjadi. Kamu akan sembuh setelah ini."
 Aku menitikkan air mata saat dia mengatakan hal itu. Memang dia yang ahli menghapus air mataku. Dihapuskannya air mataku yang mengalir dan sekali lagi, dia mencium keningku. Aku harus sembuh. Aku harus bisa bangun lagi setelah aku dioperasi nanti. Lalu, ibu dipanggil untuk menuju ke meja suster di luar sana. Entah apa yang mereka lakukan disana. Saat kembali, Ibu berkata bahwa aku akan di bius total. Baiklah, setidaknya aku tidak merasakan apapun saat operasi berlangsung. Ya Tuhan...


***

Sudah jam 3 sekarang. 
 Mataku masih bisa melihat bahwa sekarang sudah jam 3. Aku sempatkan untuk sholat terlebih dahulu sebelum ada suster yang datang. Aku percaya Tuhan pasti mendengar doa ku tadi. Yakin sekali. Tuhan tidak tidur. Setelah aku selesai sholat, ada 2 orang suster yang mengetuk pintu kamarku.
"Ibu, sudah siap ruang operasinya. Sudah siap untuk dipindahkan."
Aku menggenggam tangannya. Dia menatapku lembut. Lagi-lagi, dia mencium keningku agak lama dan membiarkan suster mengambil tindakan seperti mematikan aliran infus dan sebagainya. Kemudian, teman-teman menyemangati aku, ada yang mengambil gambar saat tempat tidurku didorong menuju keluar kamar operasi. Ada Dhilla, Nabila, Mas Nadiem, Adit dan Satomo. Ketika itu hanya ibu yang dirumah sakit. Dan tak lupa, Joey.


Kepalaku menengadah ketika suster mendorong tempat tidurku menuju IKB. Aku tak bertemu teman-temanku dan Joey setelah aku memasuki lift khusus pasien. Entah mereka berada dimana. Aku hanya bersama ibu dan suster kali ini. Ternyata begini rasanya jadi orang yang akan dioperasi. Terombang-ambing diatas tempat tidur ini. Banyak pasang mata yang melihatku. Aku menjadi pusat perhatian di lorong rumah sakit ini. Tibalah aku di depan IKB.
"Ibu, nganternya sampai sini saja ya, Bu." Kata suster pada Ibuku.
"Oh iya sus. Udah ya, dek. Ibu sampai sini saja." Kata ibuku seraya melambaikan tangan. Aku hanya mengangguk pelan. Setelah ini aku sendirian. Aku tak bicara apapun walaupun suster membuka obrolan. Entah, itu obrolan para suster. Aku tak tahu menahu tentang itu.
"Dek, siap-siap pindah bed. Nanti operasinya pakai bed khusus."
"Pindah, sus?"


***

Rasanya lebih sempit dari tempat tidurku yang sebelumnya. Lebih kecil dan lebih ringan. Penutup kepala khas rumah sakit sudah terpasang dengan rapi dikepalaku. Setelah aku didorong oleh 1 suster laki-laki tadi, ternyata dia memilih menempatkan aku di sini, dibawah pendingin ruangan. Aku sempat merasa kedinginan.
"Pake selimut dulu ya biar nggak kedinginan. Ditunggu disini dulu dek."
Setelah itu aku tinggal menunggu dan menunggu. Suara alat yang digunakan untuk memantau detak jantung terdengar selalu disini. Aku menebarkan pandanganku pada sekitar. Banyak obat-obatan yang ditaruh di rak-rak kaca disana. Aku kini berada di lorong ruang operasi. Aku kembali menatap pendingin ruangan yang ada diatasku. Begitu dingin disini. Diluar sana, ada orang yang menungguku. Menunggu hingga aku keluar dari sini. Aku bersenandung kecil. Menyanyikan lagu favoritku, Each Coming Night yang dinyanyikan oleh Iron and Wine. Lagu itu bisa membuat rasa nyaman berada disini. Tenang sekali.


Will you say when I'm gone away
"My lover came to me and we'd lay
In rooms unfamiliar but until now"



"Eh, sudah ada disini ya." Sapaan dari dr. Issa membuyarkan lamunanku. Aku tertawa kecil ketika melihatnya menggunakan penutup kepala yang bergambar superheroes.
"Iya dok, sudah siap dioperasi. Kok itu lucu banget sih, dok? Tutup kepalanya lucu."
"Iya dong, seharusnya kamu juga pakai yang seperti ini."
Begitu dekat hubungan disini. Suster-suster yang melintas di sebelahku juga selalu mengembangkan senyum kepadaku. Ada seorang dokter yang menghampiriku untuk mengecek kondisiku. Menanyakan apakah aku pusing, mual atau sebagainya. Dia bilang kondisiku sedang baik. Syukurlah aku sedang baik-baik saja. Tuhan menjawab doa hamba-Nya dengan berbagai cara. Cukup lama aku menunggu disini hingga akhirnya.......

"Dokter, ruang operasinya sudah siap." Kata seorang suster laki-laki yang baru saja keluar dari ruang operasi 2.
"Oh ya, langsung saja."
Setelah mendengar instruksi dari dr.Issa, 2 orang suster itu langsung menghampiriku untuk mendorongku masuk ke ruang operasi. " Jangan takut ya." Kata dr. Issa saat aku melewati dirinya. Kini sudah saatnya, bukan?


***

Aku sudah memasuki ruang operasi. Tepat diatasku ada sebuah lampu besar. Tapi, bentuknya tidak seperti di film-film. Tidak menakutkan sama sekali! Disini malah aku bisa tertawa. Karena lagi-lagi aku pindah bed. Entah sebab apa aku harus pindah 2 kali. Kupikir semua tempat tidur itu sama saja. Tetapi tidak untuk mereka.
"Disebelah mana dek sakitnya?" Tanya suster kepadaku.
"Kanan, Sus."
"Oke. Dibuka sedikit dulu ya."
Sudah kubilang diawal tadi bahwa aku sudah pasrah. Mengikuti prosedur yang ada. Mereka memasang berbagai macam alat ditubuhku. Ada yang sedang memasang sebuah tali untuk tensi di kaki kiriku, memasang semacam meja kecil di sisi kananku; tempat untuk meletakkan tanganku yang di infus. Selain itu aku diberi seperti penjepit di jari telunjukku yang mengeluarkan sinar merah. Setelah semua peralatan itu sudah terpasang, suster menyuntikkan sesuatu di infusku. Kupikir rasanya sama seperti tadi ketika dikamar. Tapi, kali ini rasanya biasa. Seketika pandanganku sedikit kabur. Ada seorang dokter yang masuk ke ruang operasi, tapi bukan dr.Issa. Lalu, aku melayangkan pandanganku pada lampu diatas. Aku merasa sangat ingin memejamkan mataku sekarang. Kupejamkan mataku. Setelah itu, aku terlelap. Dan aku tak tahu apa yang terjadi setelah itu.

Mungkin operasi sudah dimulai.

To be continued...

Tuesday, July 19, 2016

Infus Pertama, Operasi Pertama : Ketika akan dioperasi.

"Jangan takut ya, kalau takut, nanti bikin pembuluh darahnya (entah nadi atau apa, aku lupa) mengecil trus malah susah pas jarumnya mau masuk. Jangan dilihat ya." Setelah suster berkata seperti itu, aku menangis tertahan.

Baru seperti ini saja, aku tidak kuat menahan sakitnya yang seperti-- ada sesuatu yang memaksa untuk masuk ke dalam kulit tipisku. Air mataku jatuh dengan pelan di sudut mataku. Dan aku merasakan sakit lagi terlebih saat darahku diambil bersamaan dengan infus ku yang belom selesai terpasang. Sialan! Aku tidak bisa menahan lagi. Kulihat tatapan ibu yang memegangi kakiku, aku tidak boleh cengeng, aku harus kuat. Demi ibu.

Sampailah aku di ruang rawat inapku, Aster 4. Ruang yang berbentuk persegi. Sederhana. Bersih. Dan yang pasti, nyaman sekali. Setelah menyusuri lorong rumah sakit menggunakan kursi roda yang didorong seorang suster, akhirnya aku dapat berbaring ditempat tidurku. Kulihat ke arah jendela. Banyak atap gedung-gedung yang memanggilku. Dari kecil memang aku suka sekali memandangi atap gedung-gedung dari ketinggian. Karena kita tahu bagaimana menjadi tinggi dan bisa melihat semuanya dari atas.

Jam dinding yang menempel mesra didinding menunjukkan jam setengah 10 pagi. Yang dapat kulakukan sekarang hanyalah menggonta-ganti saluran televisi. Berusaha tetap tenang. Sejujurnya aku takut. Sekarang aku ditemani bapak, ibu, kakak dan adikku. Keluargaku lengkap disini. Mungkin rasa takutku sudah pergi dengan sendirinya seiring banyak orang yang menemani. Seseorang mengetuk pintu diluar sana. Hatiku yang tadinya berdebar-debar menjadi sedikit lebih tenang. Dia datang. Joey datang. Beserta kedua sahabatku. Kulihat tatapan matanya yang selalu membuatku teduh. Dia langsung menghampiriku dan mencium keningku. Aku sangat tenang sekarang karena dia ada di sampingku.

"Hai sayang, bagaimana keadaanmu?"
"Aku tadi kesakitan waktu di infus, hehe. Aku malu sebenarnya, baru di infus saja aku sudah nangis, apalagi nanti? Aku takut, sayang."
"Tak apa, kamu nggak perlu takut, sayang. Ada aku disini. Sampai nanti jam besuk nya habis, aku tetap ada disini. Buat kamu."
"I love you." Ada senyum tersimpul dibibirku.
"I love you too, sayang. Sudah makan?"

Aku menggeleng dan menjelaskan kepadanya bahwa sebelum aku dioperasi, aku harus berpuasa terlebih dahulu. Aku teringat dia akan menjadi dokter nantinya. Membayangkan dia memakai seragam dokter. Tampan dan berkharisma. Banyak hal yang kami bicarakan disini. Dia selalu menggenggam tanganku, merapikan rambutku yang selalu berantakan. Terima kasih, Tuhan. Engkau mengirimkan kepadaku seorang malaikat-- malaikat penjagaku.

Jam 11 tepat. 4 jam lagi aku akan memasuki ruang operasi. Seorang suster memasuki ruanganku sambil membawa sekotak obat-obatan.
"Halo dek, aku kasih ini dulu ya." Katanya sambil mengacungkan suntik ke tanganku.
"Sayang! tolong aku!" Bisikku kepada Joey yang berdiri membantu sang suster.

Ternyata yang dia lakukan adalah menutup mataku dan mengelus-elus rambutku. Manis sekali. Aku bisa merasakan cinta yang mengalir lewat sentuhan lembutnya. Ada rasa sakit yang begitu menusuk disana, tapi ada dia. Dia yang begitu mencintaiku. Begitu pula aku. Aku sangat sangat mencintainya. Lebih dari dia mencintaiku. Kini aku tak takut lagi. Kemudian, Joey membantu sang suster yang tengah memasukkan antibiotik didalam infusku. Rasanya cukup aneh. Seperti pegal di sekujur tangan kiriku.
"Nggak papa sayang, itu wajar. Rasanya kemeng kan?" bisiknya di telingaku, seakan-akan dia bisa membaca kebingunganku.
"Hehe, iya nggak papa, dokter. Nanti juga ilang rasanya."

Setelah itu, dia terlelap di sampingku. Menunggu waktu aku di operasi. Sebentar lagi sayang.


To be continued

Saturday, June 18, 2016

Infus Pertama, Operasi Pertama.

Surakarta, 17 Mei 2016

Aku masih betul-betul ingat masa itu. Kira-kira jam setengah 6 aku dibangunkan oleh suara ibu. Hari ini aku harus bangun pagi. Bangun pagi di waktu liburan sekolah khusus untuk anak SMA yang baru saja lulus. Membosankan. Kemarin aku harus bangun pagi juga-- menjadi rutinitasku setiap 2 minggu sekali. Bertemu dengan dokter dan memeriksa sesuatu; sesuatu yang tidak beres di diriku.

Kemarin, aku sudah bertemu oleh dr. Issa-- Spesialis bedah yang berada disalah satu rumah sakit ternama di kotaku. Aku mengeluhkan benjolan yang kemarin sempat menunjukkan tanda-tanda akan sembuh tetapi kini malah kembali seperti semula. Keadaannya sama seperti sebelum diberi obat-obatan.


"Yah, ini harus diambil, Bu. Kalau mau operasi, besok pagi ibu cari kamar, kalau ada, besok langsung operasi."

 

Begitu kata dr. Issa setelah memeriksaku untuk ke sekian kali. Serasa ada setruman listrik menggetarkan jantungku. Aku merasa takut sekali. Operasi? Aku tidak pernah berpikir bila jadinya seperti ini. Memang tempo hari aku sudah akan di operasi. Namun, ternyata benjolan yang akan diangkat menunjukkan tanda-tanda kesembuhan. Aku akan di operasi. Secepatnya.

Itulah sebab mengapa aku harus bangun pagi hari ini. Ibu bilang Ia akan ke rumah sakit untuk mencari kamar. Lalu jika ada kamar, aku akan di operasi hari ini juga. Setelah Ibu dan Bapak berangkat ke rumah sakit, tinggalah aku dirumah bersama bayang-bayang ruang operasi yang sering kulihat di film-film kebanyakan. Mungkin inilah jawaban atas segala doa yang aku panjatkan kepada-Nya. Tuhan punya cara-Nya sendiri untuk menjawab doa hamba-Nya. Cepat atau lambat. Ya Tuhan... Telepon rumah berdering memecahkan lamunanku, pasti dari ibu. 
"Ayo ke rumah sakit sekarang, sudah ada kamar buat kamu." begitu kata diseberang sana.
"Lalu, aku kapan di operasi, bu? Hari ini?"
"Tentu saja.." Jawab ibu singkat.

***
Tibalah aku dirumah sakit yang akan merawatku beberapa hari ke depan. Aku melintas di depan IKB (Instalasi Kamar Bedah) yang mana akan menjadi tempat aku dioperasi hari ini. Dan jantungku berdegup kencang. Membayangkan betapa banyak jarum disana. Dari kecil memang aku punya rasa takut bila dihadapkan oleh jarum suntik. Ah! Sudahlah. Aku menemukan ibu sedang duduk didepan meja kasir rumah sakit.
"Mau Kemana? Ngapain bawa tas segala?" Goda ibu saat melihatku menghampirinya.
"Katanya mau di.... Operasi?"
Ibu hanya tersenyum. Mungkin dirinya sama deg-degan dengan diriku. Karena sebentar lagi kami tahu, apa sebenarnya benjolan sudah berada 2 bulan belakangan. Sebentar lagi.

 Kulangkahkan kaki bersama ibu yang membawa berkas-berkas ke ruang IGD. Entah apa yang akan ku lakukan disini. Aku melihat tempat tidur khas rumah sakit beserta gorden-gorden yang membatasi antar tempat tidur itu rapi sekali, tabung oksigen, dan beberapa suster ada disana. Ada orang yang tidur nyenyak disana. Bersama infus yang tertancap di punggung tangannya. Bergidik ngeri melihat jarum itu menancap disana. Setelah aku melakukan persiapan awal seperti menimbang bobot badanku, aku tercengang dengan bobotku yang sekarang. 42 Kg! Kurus sekali untuk anak yang doyan makan seperti aku ini. Lalu kemana saja makanan yang aku makan selama ini?
"Mbak, tidur disana dulu. Saya ambilkan infus." Aku berbaring pasrah di tempat tidur ini. Sebentar lagi aku bertemu mimpi burukku. Sebentar lagi ada jarum suntik yang menancap di tanganku. Ketika suster datang dan membawa sebuah kotak dari alumunium, tak bisa aku pungkiri. Aku takut... Perlu kau ketahui, selama aku hidup didunia ini, baru kali ini aku di infus.

"Jangan takut ya, kalau takut, nanti bikin pembuluh darahnya (entah nadi atau apa, aku lupa) mengecil trus malah susah pas jarumnya mau masuk. Jangan dilihat ya." Setelah suster berkata seperti itu, aku menangis tertahan.

Baru seperti ini saja, aku tidak kuat menahan sakitnya yang seperti...........


To be continued

Tuesday, May 24, 2016

Re-Telling of The Graduation

Surakarta, 14 Mei 2016

Akhirnya, hari ini datang juga. Hari yang aku persiapkan sejak jauh-jauh hari kemarin. Kesedihanku bertambah lagi semenjak kemarin aku melihat tenda dan panggung sudah mulai di tata dengan rapi. Pertanda perhelatan akan segera terlaksana. Acara ini bernama Graduation Ceremony. Orang-orang biasanya menyebutnya dengan nama Pelepasan, Wisuda atau yang lainnya. Hari ini aku dan teman-teman akan menjelajahi langkah baru. Langkah baru untuk masa depan masing-masing.

Langkah kaki masih terasa pegal bagi yang perempuan karena gladi kemarin, kami diminta latihan memakai sepatu heels. Alhasil, kaki kami yang tak biasa memakai sepatu hak tinggi ini terasa pegal. Tapi, acara harus tetap berlangsung. Hari ini adalah hari yang aku nantikan. Kami lulus. Banyak kamera yang menyorot acara ini. MC membacakan urutan-urutan acara. Aku dulu pernah menjadi MC di acara ini. Begitu kata hati kecilku yang sebenarnya dari kemarin sudah menahan kesedihan yang mendalam. Kami berbaris dengan rapi memasuki tempat upacara kelulusan. Akhirnya aku bisa merasakan duduk disini. Setelah sekian lama hanya melihat kakak kelasku diwisuda pada setiap tahun pelajaran akan berakhir.

Prosesi Lempar Toga!
Lalu, beberapa saat setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Mars Alfirdaus (sekolahku), akhirnya prosesi wisuda tiba. Saat namaku dipanggil, melangkahkan kaki untuk maju ke hadapan para hadirin upacara, kemudian membungkukkan tanda hormat, dan maju ke panggung untuk di beri medali dan sebuah selongsong. Ketika aku mencium bendera Sang Merah Putih, air mata mulai menetes dan tak terbendung lagi. Bunda Eny, begitu aku memanggilnya, mengalungkan medali dan aku bisa melihat rasa haru yang tertahan di matanya agar tidak jatuh dipipinya. Beliau menciumku dan memelukku tanda menguatkan anak-anaknya yang sebentar lagi melanjutkan langkahnya. Aku bergeser ke arah Ibu Kepala Sekolahku, Ibu Rini. Beliau menyematkan pin kenang-kenangan yang bertuliskan "The Best of Writer". Ya Tuhan, aku tak dapat mencegah air mataku lagi saat Bu Rini mengatakan :

"Calon ibu guru, jadi penulis yang hebat ya nak, cerdaskan anak-anak lewat tulisanmu."

 

Mengenakan Toga kebanggaan sekolah!
 Singkat. Tapi cukup untuk membuatku terisak seraya menahan air mata yang kemudian menetes kecil di pipiku. Kata-kata itu cukup membuat semangatku untuk menjadi seorang pengajar semakin kuat. Hari ini aku melihat raut muka kesedihan bercampur rasa syukur terlukis disana, diwajah teman-teman. Tak apa, kawan. Hari ini kita lulus. Kesedihan itu biarlah menjadi rasa pelengkap untuk hari ini. Banyak sekali kenangan yang kita ukir disana-sini. Diantara pilar-pilar gedung sekolah kita.

Hari ini aku wisuda. Aku resmi lulus. Hari ini, mengingatkan hari-hari yang kuhabiskan selama 6 tahun berada di sekolah yang selama ini merengkuhku dalam pelukannya untuk mencerdaskanku.

Aku akan selalu merindukan sepoi angin yang dengan lembutnya membelaiku yang lelah dengan pelajaran yang semakin hari semakin sulit dimengerti.
Suasana kantin yang penuh sesak saat jam istirahat,
Canda tawa konyol yang tumpah di pojokan koridor lantai 3.
Semua itu, hari kemarin, 6 tahun kemarin,

Biarlah abadi.

Forever,
Megan Nina Sasarilia.

Monday, February 29, 2016

Diakhiri dengan Terima Kasih

Hari ke Tiga Puluh. Surat ke Dua Puluh.
Hari Terakhir.

Buat : Pembaca setia surat cintaku yang membacanya bersama hujan.

Hai.
Bolehkah aku sedikit bersedih hari ini? Wajar 'kan? Hari ini adalah hari terakhir pelaksaan #30HariMenulisSuratCinta. Tak terasa sudah 30 hari sejak 31 Januari lalu hingga sekarang, 29 Februari. Bukanlah waktu yang singkat. Setiap hari menulis surat cinta dan menyebarkan cinta lewat untaian kata yang tersurat disini. Tak ada lelahnya aku memberi informasi kepada social media tentang alamat blog agar surat cinta yang kutulis dengan sempurna tersampaikan. Hingga suatu hari, kuberanikan diri untuk bicara padanya tentang rutinitasku yang baru; menulis surat cinta.

"Sebenarnya aku sering baca blogmu, Megan." Sebuah jawaban yang cukup untuk meringankan beban dibenakku.
"Terima kasih. Aku tidak menyangka ternyata kau membacanya." Aku baru menyadari bahwa dia sering membacanya. Membaca dalam diam. Ternyata dia adalah salah satu dari ratusan viewers yang bisa kulihat dari rekam data blogger. Terima kasih kau juga menjadi salah satu penikmat surat cintaku selama ini. Kau tahu sendiri 'kan? 10 hari aku absen menulis surat cinta. Kau bisa melihatnya lewat awalan surat cintaku yang selalu menuliskan hari ke-berapa dan surat ke-berapa.

 Perlu kau ketahui, tak semua surat cinta memiliki tujuan kepada siapa. Mungkin bisa tertuju pada sesuatu yang abstrak dan tak semua orang yang membacanya dapat merasakan hal yang sama dengan si penulis. Tak semua cinta bisa sampai kepada orang yang dituju. Hanya waktu yang dapat membuktikan kekuatan cinta yang mampu membuat seseorang yang dilandanya bisa mabuk kepayang, menari-nari bahagia dan bahkan bisa jungkir balik kegirangan. Cinta mampu membuat seseorang yang rapuh dapat kembali merangkai hatinya yang tak karuan. Sudahkah kau merasakan kekuatan cinta? Jika belum, mungkin waktu enggan menjawabnya sekarang. Ingatlah pada kata-kata yang sering ku lontarkan :
"Cinta akan menunjukkan kekuatannya pada orang yang memercayai kekuatan cinta tersebut. Cinta tahu kemana dia akan kembali pulang."

Lewat surat yang kutulis pada hari terakhir #30HariMenulisSuratCinta, aku ingin kau mengerti, tanpa adanya seorang pembaca bagi penulis, tak akan ada apa-apanya. Jika ada sebuah surat cinta tanpa pembaca, itu berarti penulis itu belum bisa memberikan nyawa bagi surat cintanya. Jadi, aku ingin berterima kasih atas kesetiaan kalian dalam membaca surat cinta dariku. Semoga, ditahun depan, kalian masih tetap bisa menikmati surat cinta dariku. Oh iya! Terima kasih hujan, berkat kedatanganmu setiap hari, aku bisa merasakan cinta lewat setiap dentingan butir hujan yang turun tanpa bisa dibendung. Jangan selalu menyalahkan hujan. Merekalah inspirasiku. Selamat jatuh cinta setiap hari! Tumbuhkan rasa cinta kepada siapa saja dalam harimu, kawan. =) Sekali lagi, Terima kasih dan sampai jumpa!

Salam penuh cinta,
Megan, Penulis cinta untukmu.

Sunday, February 28, 2016

Terima Kasih Tukang Pos!

Hari ke Dua Puluh Sembilan. Surat ke Sembilan Belas.

Buat : mas @catatansiDoy_

Hai, mas tukang pos. Apa kabar? Sebelum aku menuliskan surat cintaku, boleh kah aku mengenalkan diriku terlebih dahulu? Aku ini orang Solo, Mas. Namaku Megan. Kau mungkin sudah tahu terlebih dahulu tentang namaku. Karena disetiap akhir surat cintaku, aku selalu membubuhkan namaku disana sebagai pengirim. Setiap hari aku menulis surat cintaku diblog kemudian meng-copy link blog milikku, lalu me-mention kan link tersebut kepada akun twittermu. Hal itu menjadi sebuah kebiasaan rutin yang sekarang malah menjadi hobi. Aku menemukan hobi baru sekarang.

Beberapa menit kemudian setelah aku me-mention link blog padamu, ponselku mengeluarkan suara pertanda ada pemberitahuan baru. Ternyata ada mention darimu, Mas. Terima kasih sudah me-retweet link blogku setiap hari. Karenamu, sekarang blogku menjadi sedikit ramai akan viewers dan bahkan aku sudah mempunyai pembaca setia yang selalu membaca blogku. Aku tidak tahu dimana gerangan kamu berada, mas. Tapi, aku tetap bisa merasakan keberadaanmu walaupun #30HariMenulisSuratCinta akan berlalu. Tidak terasa sudah hampir 30 hari aku berinteraksi singkat denganmu. Walaupun hanya sebatas mention antara penulis surat cinta dengan tukang pos, tapi semua itu bisa menumbuhkan rasa bersemangat dalam hati untuk menulis surat cinta setiap hari.

Karenamu juga, surat cinta yang kutulis diblog, akhirnya bisa direpost di http://30harimenulissuratcinta.poscinta.com/ =) Kau tahu apa yang kurasakan, Mas? Aku senang sekali. Setidaknya, surat cintaku yang ku tulis di blogku, sudah tersampaikan dengan lancar. Syukurlah, aku bertemu denganmu. Matur nuwun, Mas.
Aku tidak tahu menahu dirimu itu siapa, Mas. Di lintang-bujur mana kamu berdiri sekarang. Tapi, aku merasa kau adalah orang yang bisa menerima orang lain dengan mudah. Terima kasih sudah dengan setia membaca semua surat cintaku selama 30 hari ini. Waktu yang begitu singkat, ya? Terima kasih atas kesempatan yang sudah kau berikan kepada 4 surat cintaku kemarin. Mereka berhasil lolos dan di muat di website pusat. Semoga Tuhan akan mempertemukan kita pada #30HariMenulisSuratCinta di tahun depan. Disaat aku sudah kuliah. Doakan aku ya, Mas! Mungkin kita akan bertemu, bertatap muka secara langsung dan saling mengobrol ngalor-ngidul. Suatu hari nanti.

Salam,
Megan, penulis surat cinta.

Saturday, February 27, 2016

Menunggu Upacara Kelulusan

Hari ke Dua Puluh Delapan. Surat ke Delapan Belas.

Buat : Yang tercinta, Teman-teman angkatan 6 SMA Alfirdaus.

Hei, jangan bosan-bosan mendengar permintaan maafku karena aku tidak bisa menulis kemarin. Kemarin sore, aku menyempatkan waktuku untuk berkumpul bersama teman-teman di sebuah kafe yang biasanya kami sebut sebagai wedangan. Tawa kami pecah dan kurasa kitalah yang membuat kafe itu semakin ramai. Itulah yang membuatku tak bisa menulis surat kemarin. Aku ingin menggunakan waktu yang singkat itu bersama mereka. Karena aku tahu betul, setelah melepaskan masa putih-abuabu nanti, berkumpul bersama menjadi hal yang mustahil.

"Kita" di Upacara Pembukaan Tahun Pelajaran Baru.
Tak terasa, pertemanan kita sudah berumur 6 tahun. Sejak dihari itu, kita masih menggunakan seragam putih-biru dongker. Di lapangan sekolah kita yang baru, pertama kali kita bertemu. Kita belum saling mengenal satu sama lain. Lirikan tajam seperti hal yang biasa didapatkan anak baru seperti kita. Setelah hari itu, kehidupan baru dimulai. Hari demi hari silih berganti, dan sungguh tak terasa sudah 6 tahun berjalan dan kini kita berada di penghujung masa SMA. Sebentar lagi, perpisahan akan datang. Tak ada yang ingin sebuah perpisahan itu hadir dan memisahkan satu sama lain. Berpikirlah bahwa tak ada yang namanya perpisahan. Yang ada hanyalah sudah tiba saatnya kita berjalan ke arah masing-masing dan merangkai masa depan. Kini sudah saatnya bagi anak-anak perempuan menyiapkan kebaya yang akan dipakai ketika Upacara Kelulusan. Entah siapa yang akan menjadi perwakilan angkatan untuk berpidato di podium. Berbicara di depan seluruh tamu undangan Upacara Kelulusan.

Tapi, momentum yang paling dekat adalah Ujian Nasional. Sebentar lagi. Kurang lebih 36 hari lagi. Gunakan waktu itu sebaik mungkin, kawan. Kita tidak hanya memikirkan Ujian Nasional saja, tapi mau melangkah kemana setelah lulus ini. Pikirkan matang-matang, kawan. Jika sudah lulus nanti, aku tidak akan pernah melupakan kalian, walaupun ketika kuliah akan banyak orang yang datang dan membawa cerita yang baru, namun cerita bersama kalian akan menjadi cerita yang tak pernah usang sampai kapanpun. Masalah demi masalah kita hadapi bersama dan kita menguatkan satu sama lain. Itulah yang menguatkan kita; Masalah.

Kuatkan dirimu, kawan. Bersiaplah untuk hidup yang lebih keras diluar sana. Jangan lupakan tentang kegilaan yang kita alami selama masa SMA. Buatlah dirimu menjadi seseorang yang hebat setelah ini, berikan sebuah kebanggan atas pertemanan kita selama ini. Terima kasih sudah membuatku sadar betapa berharganya sebuah persahabatan dan rasa kekeluargaan selama ini. Kita memang berjumlah sedikit, tapi dibalik jumlah sedikit itu, aku merasa ada kekeluargaan yang sangatlah erat dan tak akan lekang oleh perubahan zaman. 6 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Jaga dirimu baik-baik, jangan pernah jauh dari Tuhan. Tanpa Tuhan, kita tak akan bisa setegar ini. Jagalah cinta yang kalian punya, seperti kalian menjaga sebuah persahabatan. Maka, bersiaplah!

Salam hangat,
Dari : Megan, orang teraneh di antara kita.

Thursday, February 25, 2016

Catatan Buat Sahabat

Hari ke Dua Puluh Enam. Surat ke Tujuh Belas.

Teruntuk : Wiwik. Perempuan yang Selalu Mencinta.

Apa kabar, Wiwik? Masihkah kau dibelenggu oleh dongeng cinta semusim milikmu? Cepatlah keluar dari belenggu itu, Wik. Sudah lelah mata ini melihatmu dibelenggu oleh tali-tali kebimbangan abstrak yang menempel di dirimu. Tapi, jangan memintaku untuk berhenti melihatmu seperti ini. Aku tak sanggup memalingkan mukaku dari masalah dan berpura-pura tidak melihatmu saat kau sedang dalam badai (baca : Masalah). Karena, kau sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri.

Ingatkah kau pada bulan terakhir di tahun lalu? Kau ada disana saat aku sudah menangis seperti orang yang kehilangan akal. Aku baru saja kehilangan cintaku yang sudah ku tanam di taman hatiku. Dan kau ada disana, menyaksikan semuanya.
Ingatkah kau pada beberapa bulan lalu, tepatnya suatu malam disebuah gelora olahraga di tengah kota sana, kita masuk ke dalam kerumunan remaja yang menonton konser? Dan kau masih bersamanya saat itu. Aku tahu, cinta yang kau tumbuhkan itu bukanlah cinta yang biasanya orang miliki. Maka dari itu, bertahanlah selagi kau mampu bertahan. Memaafkan bukan berarti kita menjadi remeh.

 Kita memiliki kerumitan yang berbeda di masalah masing-masing, Wik. Tapi, kita memiliki kesamaan. Kau tahu itu apa 'kan? Kita sama-sama berjuang dalam dongeng cinta yang kita miliki. Perjuanganmu berbeda denganku. Hanya saja, perbuatan kita sama-sama berjudul Perjuangan. Diantara kita berdua, kurasa kau yang lebih mampu menunjukkan rasa cinta kepada orang yang kau cintai. Aku ini siapa sih, Wik? Aku hanya seseorang yang terkadang tidak peduli dengan keadaan sekitar. Berkat kehadiranmu, aku mampu belajar banyak hal darimu.
Kesabaran. Itulah pembelajaran yang mampu aku serap darimu. Dari setiap nasihatmu, saranmu. Makasih ya, Wik. Terima kasih atas segala saran-saranmu yang tak pernah kuhapus dari list chat di ponselku.
Segeralah menjadi dewasa untuk dirimu sendiri, Wik. Percayalah, aku ada disampingmu saat kau merasa dirimu didatangi rasa bimbang lagi. Kau harus percaya dengan kekuatan cinta yang ada disekitarmu. Rasakan keberadaan mereka. Kau mampu merasakannya, Wik!

Dari : Megan, orang yang kau panggil Mengan saat hari pertama masuk SMP.

Wednesday, February 24, 2016

Mencinta dengan Jarak

Hari ke Dua Puluh Lima. Surat ke Enam Belas.

Buat : Joey Anung, yang akan menjadi dokter untukku.

Hei, sampai sejauh mana usahamu menuju cita-cita yang ingin kau tuju? Sering kulihat disaat kau diam hanya menatap layar laptop yang memunculkan banyak tulisan disana. Dahimu berkerut menandakan ada hal yang ingin kau cari. Ketika kutengok apa yang kau lihat, rupanya kau sedang mencari universitas yang cocok denganmu. "Aku mau masuk kedokteran disini. Doakan ya, sayang." Itulah kata-kata yang sering sekali aku dengar dari bibir tipisnya seraya menunjuk logo kampus yang ingin dia tuju.
Aku tahu, kau ingin mendaftarkan dirimu di kampus yang berada diluar kota. Aku menjawabnya dengan membelai punggung tangannya yang jauh lebih besar dari pada tanganku seraya menatap kedua matamu yang menjadi tempatku melepas rindu. Kulihat ada keinginan yang teramat kuat dibalik tatapan matanya yang mampu menghunus hatiku hingga ke dasar perasaanku. Tatapan itulah yang membuatku akhirnya menjawab ya.

 Aku tak dapat membayangkan, apa jadinya diriku bila kita tidak berada dalam satu regional. Lalu, aku harus apa? Menitikkan air mataku pun tak dapat membuat langkahmu terhenti. Sudahlah, berikan dia kepercayaan. Hanya itu yang mampu ku lakukan untuk membuat diriku tidak dihampiri pikiran-pikiran yang bisa menjadi bumerang bagiku.

Mendoakanmu. Itulah yang dapat kulakukan untukmu, sayangku. Kita sama-sama mengerti, menjadi seorang dokter bukanlah hal yang mudah. Sebentar lagi kita akan terpaut jarak yang jauh, sayang. Kuberikan potongan hati yang kupunya hanya untukmu. Jagalah. Karena, menurutku kau ada di dunia ini hanya untukku. Semoga pikiranku itu benar, sayang. Beberapa tahun lagi, kau akan disapa dengan sapaan Pak Dokter. Maka, bersiaplah, jo.
Kejarlah mimpimu. Karena mimpi yang ada sejak kau masih ingusan sebentar lagi akan kau jalani.
Sejauh apapun kau berada, aku tetap mencintaimu. Kita memang sama-sama tidak menyukai jarak, tapi aku harus tetap mencintaimu dengan jarak yang Tuhan berikan.

Salam,
Megan, yang mencintaimu.

Tuesday, February 23, 2016

Laki-Laki dalam Perlombaan

Hari ke Dua Puluh Empat. Surat ke Lima Belas.

Buat : Laki-laki yang kutemui ketika Lomba.

Hai? Apa kabarmu? Tak terasa, ternyata sudah 1 tahun berlalu sejak kita bertemu dihari itu. Saat itu, aku sedang mengikuti olimpiade yang diselenggarakan oleh Diknas Kotaku. Aku tak menyangka aku bertemu dengan dia, untuk yang ke sekian kali. Aku sama sekali tak tahu namanya. Tapi, aku mengenali wajahnya yang tak asing bagiku. Baru ku ingat, ternyata aku sudah pernah bertemu dia sebelumnya di lomba yang sudah lama ku ikuti. Dengan jas hitam almamater yang dikenakannya, dia duduk di lantai sekolahan yang menjadi tempat eksekusi soal-soal olimpiade. Lewat itulah aku dapat mengenalinya. Aku pun menggunakan jas almamater sekolahku yang menjadi identitasku di olimpiade. Tak kusangka, dia juga sempat menatapku disaat aku memasang raut muka kaget. Kuharap dia juga mempunyai pikiran yang sama denganku.

Aku tahu dari mana asal sekolahmu. Tapi, aku rasa agak gila jika tiba-tiba aku datang memperkenalkan diriku, bicara bahwa aku pernah mengenalimu di olimpiade. Gila? Tidak. Aku tidak mungkin melakukan itu. Mungkin itu semua hanya kebetulan yang Tuhan berikan kepada umatnya.  Kau dan aku sama-sama memperjuangkan nama sekolah dengan mengikuti olimpiade ekonomi. Tempat duduk kita tak jauh. Aku ingat, ditengah-tengah aku mengerjakan soal olimpiade satu per satu, aku sempat memerhatikan dirimu sedang mengerjakan soal juga. Walaupun hanya sebatas melihat punggungmu saja, itu sudah cukup membuatku senang. Bukannya cinta, namun aku hanya ingin mengenalmu lebih jauh.

Hari ini, mungkin kau juga sedang berjuang mempersiapkan Ujian Nasional yang sebentar lagi datang, kuharap kau mendapatkan apa yang kau mau. Aku yakin kita pasti seumuran. Sekolahmu dan sekolahku berada di satu wilayah, jadi, sebenarnya kita merupakan lawan untuk memperebutkan rangking antar sekolah. Tapi, itu tak membuatku ingin berhenti untuk mengenalmu. Terkadang suatu kebetulan yang Tuhan berikan, mampu merubah keadaan yang tak mampu kita ubah sendiri.
Entah dimana kau berada sekarang, ku harap kau baik-baik saja. Beberapa bulan lagi kita masuk ke bangku perkuliahan, mungkinkah kita akan bertemu lagi?

Salam kenal,
Dari Megan, yang saat olimpiade ekonomi, satu ruangan denganmu.

Sunday, February 21, 2016

Permintaanku.

Hari ke Dua Puluh Dua. Surat ke Empat Belas.

Hidupku sudah berumur selama kurang lebih 6.496 hari. Selama itulah Tuhan selalu memberiku kesempatan. Kesempatan untuk apapun yang akan terjadi di hidupku. Banyak sekali pelajaran yang Tuhan beri kepada gadis ini. Aku tahu, Kau-lah Yang Maha Mengetahui semua yang ada di dalam otak dan hatiku. Namun, selama 6.496 hari ku hidup, terkadang aku tidak menggunakan kesempatan yang Kau beri kepadaku. Maafkan aku, Tuhan.

Banyak hal yang ingin ku minta kepada-Mu, Tapi, aku tahu aku hanyalah seorang umat yang banyak dosa. Maka, bantulah hambamu ini yang ingin selalu berdekatan dengan-Mu, Tuhan. Terima kasih Engkau memberiku orang-orang yang begitu mencintaiku.

Berikan aku jalan yang mudah untuk mencapai cita-cita ku yang ku dambakan.
Engkau-lah Yang Maha Memberi jalan kepada umatmu yang ingin berubah. Selama ini Kau banyak memberiku pelajaran yang sangat bisa membuat hatiku berjingkrak bahagia, membuat diriku tertampar dengan begitu kerasnya dan bisa membuat jantungku berdebar-debar ketakutan. Aku yakin tanpa se-izin-Mu, semua itu tak akan bisa terjadi. Maka, tetaplah ada di sampingku, Tuhan. Tanpa-Mu, aku tak akan mampu bisa setegar ini. Aku yakin, Kau tak akan memberi cobaan melebihi kekuatan hamba-Mu.

Bantulah aku untuk selalu beribadah dengan taat kepada-Mu, Tuhan.
Aku hanya ingin selalu berdekatan dengan-Mu. Tak salah 'kan? Tidak ada umat yang ingin menjauh dari-Mu. Yang ada hanyalah hambamu yang dengan sendirinya menjauh dari-Mu. Aku tak ingin, Tuhan. Maafkan segala kesalahanku yang selama ini aku timbun di hidupku. Aku sadar aku banyak salah, Tuhan. Tapi, aku tahu Kau Maha Memaafkan hamba-hamba-Mu yang ingin membenahi kesalahannya. Bantulah aku untuk selalu berbuat benar sesuai dengan aturan yang Kau berikan kepada umat-umat-Mu.

Berikanlah aku pertolonganmu saat aku dalam situasi yang genting, berikanlah aku kekuatan hati untuk menghadapi segala cobaanmu yang datang tanpa terduga. Engkaulah Yang Maha Mendengar doa hamba-hambamu. Aku tahu, petunjukmu datang tidak secara langsung, melainkan datang secara perlahan namun pasti. Yang terakhir, Kabulkan lah semua doaku yang baik-baik.

Untuk : Yang Memberiku Hidup.
Dari : Megan, hambamu yang masih terus berusaha untuk dekat dengan-Mu.

Saturday, February 20, 2016

Salam Cinta dari Siluet

Hari ke Dua Puluh Satu. Surat ke Dua Belas.

Teruntuk : Kamu, yang menjadi bayangan dihidupku.

Hitam. Berada tepat di belakang bayangan. Bergerak kemanapun kau beranjak. Itulah aku. Yang berusaha mengikuti aliran darahmu yang tak sesuai dengan aliran darahku. Bukannya memaksa, tapi aku ingin berusaha mencari celah dirimu yang bisa kususupi. Hatimu. Itulah tempat yang bisa kususupi dengan sedikit rasa cinta dariku. Tapi, terkadang hatimu menolaknya. Tak apa. Aku ini hanyalah siluet yang biasanya kau pikir aku tak pernah ada, padahal diriku selalu ada didekatmu.

Kau adalah bayangan. Selalu ada bagiku, namun abstrak dan tak dapat ku genggam. Semakin aku berlari mengejarmu, kau selalu ada di depanku dan tak pernah ada di sampingku. Dan aku adalah siluetmu. Selalu nyata, namun tak pernah kau sadari kehadirannya. Perasaan lelah mengikuti alurmu yang begitu berbeda denganku, membuatku ingin mundur beberapa langkah dan kemudian berhenti mengikutimu. Toh, kalau aku pergi, tak merubah apapun 'kan? Aku begitu mencintaimu sampai aku tak peduli dengan jeritan hati kecilku yang terus saja meronta kelelahan. Suara hatiku itu tak mampu meruntuhkan dinding tebal yang ku bangun bersama kepercayaan dan cinta selama ini. Kubangun dinding tebal itu hanya untuk menjaga arusmu yang deras. Menjaga cinta dan kepercayaan kita berdua.
Tapi ternyata, dirimu lah yang menghancurkan dinding yang ku buat sendiri.

Bersama surat cinta ini, aku ingin mengucapkan salam cinta kepadamu, Bayangan. Aku ini hanya siluet. Tapi tanpa kehadiran siluet, tak akan ada bayangan yang tercipta dengan sempurna. Ketahuilah, rasa cinta yang ada bersama siluet tak berharga ini masih tersedia. Ruang kosong bagimu juga masih luas. Akan ada ruang dan kesempatan bagi seseorang yang ingin datang. Kita sama-sama tahu, kita berdua tercipta dari secercah sinar. Tanpa sinar, kita berdua tak akan pernah ada. Lalu, bolehkah aku mengibaratkan sinar itu adalah cinta? Karena, tanpa cinta tak akan ada sebuah titik temu yang dapat menyatukan aliran yang berbeda dari diri kita berdua.

Percayalah, cinta akan mempertemukan kita pada sebuah kesepakatan.

Salam,
Dari Megan, Siluet Abadimu.

Friday, February 19, 2016

Senja di Langit Kita

Hari ke Dua Puluh. Surat ke Dua Belas.

Tak terasa dua puluh hari sudah aku menulis surat cinta. Namun, aku sudah 8 kali absen tidak menulis karena terkadang aku sakit, terlalu sibuk mengikuti les, dan bahkan lupa akan menulis surat cinta. Kuharap 10 hari kedepan, aku bisa selalu menulis surat cinta. Semoga.

Hujan tak mampir hari ini. Hari ini cerah sekali disini. Diriku terasa hidup karena mentariku kali ini tidak tertutup awan hitam. Aku senang melihat langit begitu biru dan membuat siapa saja yang memandangnya menjadi penuh dengan rasa bersyukur. Tuhan, terima kasih hari ini kau mengurung hujan bersamamu diatas sana. Tapi, jangan biarkan hujan tak pernah turun, karena kami terkadang merasa panas dan rindu kedatangan hujan.
Senja kali ini memang cerah, tapi hatiku terasa ada awan hitam yang tengah bergemuruh hebat di dalam sana. Berkali-kali aku mencoba membuat otakku memerintahkan hatiku untuk memberhentikan badainya, tapi aku tak sanggup. Mungkin hatiku ingin berhenti, tapi dia hanya belum siap.

Kini, kau dan aku terpisah jarak yang semakin dekat, namun peraturanmu yang membuatku merasa jauh darimu. Kau dan aku sedang dalam uji coba ketahanan cinta yang pada umumnya anak-anak muda seumuran kita sudah terbang jauh ke arah masing-masing. Tapi, aku berusaha untuk slalu terbang mengikuti kemanapun arahmu ingin pergi. Kita layaknya sepasang burung gereja yang terbang bersama di senja hari ini. Mereka saling menguatkan, tapi terbang sendiri-sendiri. Itulah takdir.

Aku hanya merindukanmu. Aku hanya bisa memandang senja di langit. Karena aku yakin, kau disana juga memandang senja yang sama. Menjelajahi langit yang sama dengan kedua matamu yang teduh. Namun, bedanya, kali ini aku melihat langit senja bersama sedikit air mata yang tergenang di pelupuk mataku. Aku tak tahu bagaimana caranya memberhentikan badai didalam hatiku. Aku ingin hatiku seperti langit senja ini. Cerah dan bersih dari awan hitam yang gemar membelenggu kebahagiaan.

Pandanglah langit diatas sana, Jo.
Bisakah kau merasakan senja sepertiku?

Buat : Jo, yang sedang mengikuti kegiatan, disana.

Thursday, February 18, 2016

Kepada Mentariku

Hari ke Sembilan Belas. Surat ke Sebelas.

Kepada : Mentariku.

Hei, Mentari. Bolehkah aku memanggilmu mentari? Aku tak tahu apakah hanya aku yang merasakan kehangatanmu di tengah Februari yang penuh dengan hujan ini. Apa teman-teman tidak merasakan kehatangan yang kau pancarkan?
Kulitmu tidak terlalu hitam, namun tidak terlalu putih pula. Bentuk matamu mirip dengan mata orang pada umumnya. Terkadang, Tuhan dengan Kreatifitasnya Yang Maha Agung membuat bentuk mata orang dengan ciri khas masing-masing. Aku sering menemui orang yang bermata seperti kacang almond. Kau tau, 'kan? Tapi, Mentariku tidak. Bentuk matanya sama dengan orang kebanyakan, tapi pandanganmulah  yang membuat aku ingin berlama-lama menatap bayangan diriku yang tergambar jelas di kilau matamu. Jemarimu tidak menggambarkan sifat laki-laki yang biasanya keras, kaku, dan misterius. Tapi, bagiku kau adalah laki-laki yang bisa menghargai perasaan perempuan dan mampu menjadikan kehadiran perempuan adalah hal yang harus di jaga. Bukan hanya dinikmati.

Mentari, aku mengenal mu sejak dulu. Dulu, lama sekali. Aku dulu mengenalmu sebagai murid laki-laki yang aneh dan pendiam di kelas. Tapi, keadaan merubahmu, Mentari. Kini, kau menjelma menjadi seorang lelaki yang bisa diandalkan dan pastinya sekarang kau tumbuh tinggi lebih tinggi dariku. Entahlah, Mentari. Aku merasa semuanya kini begitu jauh.

Kau ingin tahu mengapa aku memanggilmu Mentari? Karena setiap orang yang ada di dekatmu merasa kau orang yang penuh kehangatan. Ibarat matahari di angkasa, bumi memang jauh dari matahari, namun bumi tetap bisa merasakan kehangatan matahari. Seperti mentari disaat pagi hari. Menyapaku dengan kehangatan yang mampu meluluhkan hati yang keras, kaku, dan dingin. Itulah aku. Aku meleleh karena kehangatanmu, Mentari. Aku suka bermandikan sinar mentari pagi, begitu hangat dan diriku terasa hidup. Dulunya aku adalah orang yang berhati kaku dan dingin. Tapi, Mentari datang dengan kehangatannya yang begitu ramah dan lembut. Kenyamanan yang kau ciptakan seakan-akan membuat mereka ingin mengajakmu berkumpul bersama di pojok koridor lantai 3. Dan aku, hanya melihatmu dari tempatku duduk bersama teman-teman.

Kini, kau dan aku tak sedekat dulu. Kau dan aku saling mengerti isi hati satu sama lain. Sejujurnya, kau menjadi bagian hatiku beberapa waktu yang lalu. Tapi, aku memutuskan untuk memilih jalanku sendiri dan berjalan menjauh darimu. Tapi, kini saat aku sudah jauh darimu, ada rasa penyesalan yang terbesit di dasar hatiku. Dan aku mencoba untuk tidak peduli. 

Mungkin, ini saatnya aku untuk menjalani musim dingin tanpamu, Mentari. Oh iya, apakah kau bisa menyinariku lagi?
Tenanglah, Mentari. Aku akan tetap berjalan menjauh dari tempatmu berdiri.

Dari Megan, yang merindukan kehangatan yang kau pancarkan untukku.

Tuesday, February 16, 2016

Mendua

Hari ke Tujuh Belas. Surat ke Sepuluh.

Teruntuk : Dia. Yang tak ingin kusebut siapa namanya.

Hujan hari ini hanya datang sesekali bahkan hanya dua kali dia turun sebentar. Hanya sekedar menyapa umat manusia yang bersyukur hujan tak turun di hari ini. Jadi mereka bisa saling memberi janji kepada orang-orang tercinta, untuk bisa saling bertemu. Tidak banyak butir hujan yang dibawanya hari ini. Namun, udara di luar sana dingin. Sedingin udara di malam itu. Kini pikiranku hanya di hantui oleh hal yang siapapun merasakannya, bisa merasakan kepercayaan yang dibangun dengan segala kerendahan hati, hancur dengan begitu saja.


Aku mencintaimu tanpa menilai sebuah kekurangan yang kau miliki merupakan hal yang harus dipermasalahkan. Aku menerimamu sebagai karunia, bukan sebatas pelengkap sejenak untuk mewarnai sedikit dari hidupku. Tapi kau telah mewarnai kanvas hatiku dengan penuh coretan warna-warni. Aku terikat oleh tatapan mata teduh dan tajam yang kau miliki. Kau menatapku seakan-akan mata itu memberiku sebuah arti yang berharga bagiku. Aku menganggap semuanya akan berjalan sesuai dengan keinginan hatiku yang paling dalam. Semua terasa sangat indah kemarin.

Hingga malam itu, aku tahu sesuatu. Di hari itulah aku merasa semua kepercayaan dan semua rasa cinta yang selama ini susah payah aku tanam, tumbang. Hancur. Dan butuh waktu lama untuk mengembalikan itu semua. Air mataku menuntut untuk turun terus-menerus sepanjang malam. Tapi hatiku yang tak menginginkan air mata itu jatuh sia-sia untuk seseorang yang hanya dipenuhi makna kias belaka. Aku tak tahu sejak kapan dia mulai bermain skenario lain dengan perempuan itu. Brengsek. Pantaskah aku memanggilmu itu?

Salahkah seorang perempuan ini selalu menjaga hatinya yang mudah hancur untuk orang yang dengan mudah malah menghancurkannya? Mungkin, Tuhan ingin aku mengerti bahwa cinta bisa kapan saja datang dan pergi. Cinta bisa membuatmu bahagia atau malah sebaliknya. Februari merupakan bulan yang begitu manis. Tapi, Februari ini aku merasa ada yang tak seharusnya terjadi. Memang, ada saatnya manusia tahu sesuatu dan manusia tidak tahu sesuatu. Dan baru saja, aku mengetahui hal yang seharusnya aku tidak tahu.

Kalau aku tidak tahu, lalu apa jadinya akhir kisah cintaku bersamanya?

Ingatlah, seseorang bisa dengan mudah datang kepadamu dan bisa membuat sebuah kisah baru yang menyenangkan bagimu. Tapi kau perlu tahu, dia hanya seorang tamu. Yang kapan saja bisa datang kemudian keluar dari hidupmu tanpa permisi. Pergi dan Menghilang.

Dari Megan,
Yang selalu memberimu kesempatan.

Monday, February 15, 2016

Lebih Baik Begini

Hari ke Enam Belas. Surat ke Sembilan.

Dina? Hai sahabatku. Tidak terasa 6 tahun sudah aku mengenalmu, sejak kau masih menggunakan sepeda saat berangkat ke sekolah dan sekarang keadaan membuatmu lebih mengenal dunia. Kau tumbuh menjadi gadis yang selalu saja kurus. Dulu, saat aku pertama kali mengenalmu, aku hanya berbicara pada diriku sendiri, "Betapa kurusnya anak itu." Begitu kata hatiku saat itu. Haha. Tapi walaupun sekarang dunia sudah lebih tua 6 tahun sejak aku mengenalmu, itu tak mampu untuk merubah pertemanan kita, Din.

Tadinya, bagiku 15 Februari ini bukanlah tanggal yang asing bagiku. Namun aku tak tahu menahu sesungguhnya 15 Februari itu hari apa. Baru ku sadari tadi pagi, ternyata (seharusnya) hari ini adalah hari bahagiamu. Bersama dia, yang ingin ku sebut namanya. Percayalah, Din. Keadaan akan lebih baik setelah ini. Sekarang kitalah yang menentukan kemana cinta kita akan berlabuh kepada siapa. Seseorang yang baru ataupun orang yang kembali dari kepergiannya. Itu semua ada di sana, di hatimu. Aku sebagai sahabatmu hanya bisa memberimu dorongan dan motivasi agar dirimu bisa kuat setegar lagu-lagu galau yang sering kau dengar menggunakan pengeras suara.

Jika kau memutuskan keputusanmu untuk sendiri terlebih dahulu, kupikir kau lebih baik begini.

Buat Dina, yang 1 tahun lalu sangat bahagia di hari ini.
Dari Megan, yang turut senang mendengar kabar darimu tentang hari ini di 1 tahun yang lalu.

Sunday, February 14, 2016

yang Selalu Membuatku Merasa Rindu

Hari ke Lima Belas. Surat ke Tujuh.

Hai. Maaf aku baru saja bisa menulis surat untukmu, Indonesia. 2 hari yang lalu aku disibukkan oleh rutinitas anak kelas 3 SMA yang berada di ujung masa-masa putih abu-abuku. Sehingga, saat aku dirumah, aku sudah berada di waktu lebih dari 6 petang. Sekali lagi, maaf.

Untuk : yang tercinta, Indonesia. Tanah Airku.

Apa kabar, Indonesia? Kuharap dirimu tak pernah lelah melihat fenomena di negeri ini. 17 tahun sudah aku mengenalmu. 17 tahun ini aku berdiri di atas bumi pertiwi; Indonesia. Dan ku sadari aku belum bisa memberi sesuatu yang bisa mengharumkan namamu di luar sana. Maafkan aku, Indonesia. Aku lahir dan besar di Indonesia. Namamu sudah tertera di surat kelahiranku sejak hari dimana aku hadir di dunia ini. Indonesia menjadi hal terpenting di dalam hidupku, identitasku dan pastinya menjadi tempat kemana aku pulang.

Kemanapun dan sejauh apapun aku pergi di negeri orang nanti, kau selalu menjadi tempat terbaik untuk kembali pulang. Dan setiap orang yang bertanya kepadaku tentang dari mana asalku, aku akan menjawab, "Saya dari Indonesia."
 Karena kau memberiku sebuah perasaan sangat ingin bertemu, yang biasanya orang sebut dengan Kerinduan. Kata seorang guru geografi yang ku kenal, dirimu selalu saja di katakan sebuah negara berkembang. Lalu kapan Indonesia menjadi negara maju? Semoga saat masa ku nanti, kau akan berubah menjadi negara maju. Agar anak-anak dimasa depan nanti mengenal Indonesia sebagai negara maju di Asia Tenggara.

Bagiku, Indonesia memiliki banyak sekali pemandangan yang bisa membuat kita lupa akan kronisnya penyakit yang diidap oleh negeri ini. Sekarang, dirimu sebenarnya sedang sakit parah. Banyak kekacauan yang datang silih berganti seiring perjuanganmu untuk tetap bertahan. Apa selamanya kau akan terus begini? Tidak! Tidak selamanya kau akan seperti ini, Indonesia. Ini tugasku sebagai generasi muda yang akan bertanggung jawab di masa depanmu. Jika ada orang pintar di negeri ini, hargai mereka. Hargai setiap pikiran mereka yang ditujukan untuk merubahmu, Indonesia. Aku hanya ingin kau tau, Namamu begitu besar diluar sana. Banyak orang asing yang ingin mengunjungi tempat-tempat wisata yang kau miliki.

Apapun yang terjadi, kau akan tetap menjadi sesuatu yang membuatku ingin segera pulang. Kaulah yang ku sebut kampung halamanku. Kau sudah melihatku tumbuh hingga sekarang, 17 tahun.
Lalu, bolehkah kau kusebut sebagai sesuatu yang membuatku merasa rindu?

Dari : Megan. yang ingin suatu saat nanti berkeliling Indonesia!

Thursday, February 11, 2016

Selamat Ulang Tahun, Logan!

Hari ke Dua Belas. Surat ke Enam.

Aku sudah enam kali absen dalam menulis surat. Selalu saja tidak sempat.
Maaf ya.

20 tahun yang lalu, tepatnya hari ini, Ibuku akhirnya melahirkan seorang anak yang 9 bulan 10 hari telah di rawatnya di dalam rahim. Hanya berbatas dinding rahim saja ibuku dan anak itu tidak bisa bertemu. Namun, Ibuku merawatnya dengan sepenuh hati. Karena anak itu adalah buah hati pertama nya dengan Ayahku. 11 Februari 1996. Di Solo. Kakak ku lahir.

Logen, kini sudah bulat 20 tahun usiamu. Sudah berkepala dua rupanya. Waktu 20 tahun itu, aku sudah mengenalmu selama 18 tahun. Tanggal lahirmu sama dengan tanggal lahirku. Namamu mirip denganku. Itu karena bapak dulu pernah kerja di Amerika-- begitu sebutanku sewaktu aku kecil ketika ayahku masih bekerja disana.

Diumurmu yang sudah 20 tahun ini, banyak sekali cerita yang sudah di lalui kita berdua. Kita pernah merasakan dimarahi Ibu karena kita sering bertengkar kecil dan akhirnya akulah yang menangis. Bahkan, saat aku SMP kau pernah memukul seorang kakak kelasku karena dia mengganguku. Banyak sekali kenangan ku bersamamu!

Tapi, ketika kini aku sudah SMA dan kau sudah sibuk dengan kerjaan kuliahmu, serasa ada tembok yang dengan alami tumbuh membatasi kita berdua. Kini, kita saling sudah menemukan cinta masing-masing. Aku harap kau tetap menyayangiku seperti dulu, ketika aku masih berambut mangkok.

Selamat ulang tahun, Logan.

Untuk Logan, yang selalu saja meminjam motorku.
Dari Megan, Adikmu.

Wednesday, February 10, 2016

Hujan, Awan dan Kenangan

Hari ke Sebelas. Surat ke Lima.
Apa kabar kenangan? Sekian lama kau tertidur nyenyak di dalam bagian pikiranku yang lama tak ku sentuh. Kau sudah berdebu ya? Maaf, bukannya aku tak mencintaimu. Tetapi, aku tak ingin mengganggu tidurmu yg lelap dan sedang bermimpi indah di antara kenangan-kenangan ku yang abadi.

Apa kabar hujan? Akhir-akhir ini kau sering turun bersama angin yang dengan kejam berhembus menebarkan hawa dingin kepadaku. Tak tahu kah kau rasanya kedinginan? Kau selalu mengajarkanku untuk tak takut jatuh meski harus berkali-kali. Mengajarkanku untuk (tidak) selalu merenungi kenangan yang sudah lama tak ku sentuh. Namun, aku selalu terdiam saat hujan. Duduk bersandar pada besi pembatas yang berada di ujung koridor lantai 3 sekolah. Melihat orang-orang saling menjauh darimu, Hujan. Mereka hanya takut kedinginan dan basah. Sudah, jangan menyalahkan dirimu.

Kau datang bersama awan mendung yang bagi orang-orang biasa menjadi penanda agar mereka segera pulang. kata mereka hujan akan segera turun. Awan mendung tak melulu berbicara tentang hujan. Awan tak selalu mendung. Seperti hati, sedih namun tak berarti harus menangis. Awan selalu bergerak mengikuti kemana sang angin meniupkan arah kepadanya. Terapung-apung di langit yang tiada batas. Disanalah titik-titik hujan terbentuk. Disanalah kebahagiaan muncul. 

Hujan dan awan mengingatkanku pada kenangan-kenangan yang lama tak kusapa. Begitu baik nya dirimu hujan dan awan. Kau membuatku ingat pada sesuatu yang dulu ku sebut cinta. Awan lah yang membentuk hujan. Menyimpan butir-butir hujan yang menjadi berkah bagi umat manusia.

Awan, simpanlah hujan baik-baik hingga aku tiba di tempat yang ku tuju.
Hujan, tolong berikan mereka kesempatan untuk merenungi kenangan usang yang lama tak mereka sapa. Biarkan kenangan tetap tinggal bersemayam di kalbu mereka.

Untuk Hujan, yang turun begitu deras di sore ini.
Dari Megan, Penggemar bau hujan.