Thursday, July 21, 2016

Infus Pertama, Operasi Pertama : Sudah Waktunya Terlelap.

"Nggak papa sayang, itu wajar. Rasanya kemeng kan?" bisiknya di telingaku, seakan-akan dia bisa membaca kebingunganku.
"Hehe, iya nggak papa, dokter. Nanti juga ilang rasanya."

Setelah itu, dia terlelap di sampingku. Menunggu waktu aku di operasi. Sebentar lagi sayang.



Baju khas untuk orang yang akan dioperasi sudah aku kenakan saat suster datang dan mengganti kaos yang kukenakan dari rumah. Baju yang sudah kukenakan ini berbentuk baju biasa pada umumnya. Namun, yang ini berkancing belakang. Sebenarnya bukan berkancing, tapi bertali. Sekali lagi aku melihat pemandangan ratusan atap gedung yang ada di luar jendela. Aku pasrah. Semoga aku bisa melihat pemandangan seperti itu lagi. Orang-orang silih datang-pergi. Sahabat-sahabatku telah datang. Meramaikan ruangan. Tetapi, sebenarnya hati ini hampa.
"Hai Me, gimana? Cepet sembuh ya. Jangan takut." Kata Dhilla, temanku yang waktu itu datang lebih awal untuk menjengukku. Aku mengangguk dan tertawa bersama dia. Setidaknya jangan dibawa tegang. Santai.

Waktu cepat sekali berlalu, tak terasa sudah 2 bulan aku sudah bolak-balik ke RS hanya untuk memantau perkembangan benjolanku. Selama itu pula, Ibu dan Joey selalu memberi support dan menanyakan bagaimana rasanya punya benjolan yang tak semua orang punya seperti itu. Aku tak pernah berpikir sebelumnya tentang operasi. Tetapi, pikiran itu hilang seketika aku melihat seorang laki-laki yang selalu duduk di sebelah kananku, menatapku dengan tatapannya yang menghawatirkanku, menyentuhku seakan-akan tak akan ada kata perpisahan diantara kami.

"Dia sudah seperti infus bagiku. Menyakitkan tetapi menyelamatkan."

 

Jam 14.30 WIB
Sudah setengah jam lagi aku akan masuk ruang operasi. Debar jantungku semakin kencang terasa. Aku menghela napas. Ternyata Joey melihatnya.
"Kamu kenapa, sayang?"
"Kamu tahu aku. Aku takut. Aku takut ninggalin kamu." Joey menggeleng keras.
"Itu nggak akan terjadi. Kamu akan sembuh setelah ini."
 Aku menitikkan air mata saat dia mengatakan hal itu. Memang dia yang ahli menghapus air mataku. Dihapuskannya air mataku yang mengalir dan sekali lagi, dia mencium keningku. Aku harus sembuh. Aku harus bisa bangun lagi setelah aku dioperasi nanti. Lalu, ibu dipanggil untuk menuju ke meja suster di luar sana. Entah apa yang mereka lakukan disana. Saat kembali, Ibu berkata bahwa aku akan di bius total. Baiklah, setidaknya aku tidak merasakan apapun saat operasi berlangsung. Ya Tuhan...


***

Sudah jam 3 sekarang. 
 Mataku masih bisa melihat bahwa sekarang sudah jam 3. Aku sempatkan untuk sholat terlebih dahulu sebelum ada suster yang datang. Aku percaya Tuhan pasti mendengar doa ku tadi. Yakin sekali. Tuhan tidak tidur. Setelah aku selesai sholat, ada 2 orang suster yang mengetuk pintu kamarku.
"Ibu, sudah siap ruang operasinya. Sudah siap untuk dipindahkan."
Aku menggenggam tangannya. Dia menatapku lembut. Lagi-lagi, dia mencium keningku agak lama dan membiarkan suster mengambil tindakan seperti mematikan aliran infus dan sebagainya. Kemudian, teman-teman menyemangati aku, ada yang mengambil gambar saat tempat tidurku didorong menuju keluar kamar operasi. Ada Dhilla, Nabila, Mas Nadiem, Adit dan Satomo. Ketika itu hanya ibu yang dirumah sakit. Dan tak lupa, Joey.


Kepalaku menengadah ketika suster mendorong tempat tidurku menuju IKB. Aku tak bertemu teman-temanku dan Joey setelah aku memasuki lift khusus pasien. Entah mereka berada dimana. Aku hanya bersama ibu dan suster kali ini. Ternyata begini rasanya jadi orang yang akan dioperasi. Terombang-ambing diatas tempat tidur ini. Banyak pasang mata yang melihatku. Aku menjadi pusat perhatian di lorong rumah sakit ini. Tibalah aku di depan IKB.
"Ibu, nganternya sampai sini saja ya, Bu." Kata suster pada Ibuku.
"Oh iya sus. Udah ya, dek. Ibu sampai sini saja." Kata ibuku seraya melambaikan tangan. Aku hanya mengangguk pelan. Setelah ini aku sendirian. Aku tak bicara apapun walaupun suster membuka obrolan. Entah, itu obrolan para suster. Aku tak tahu menahu tentang itu.
"Dek, siap-siap pindah bed. Nanti operasinya pakai bed khusus."
"Pindah, sus?"


***

Rasanya lebih sempit dari tempat tidurku yang sebelumnya. Lebih kecil dan lebih ringan. Penutup kepala khas rumah sakit sudah terpasang dengan rapi dikepalaku. Setelah aku didorong oleh 1 suster laki-laki tadi, ternyata dia memilih menempatkan aku di sini, dibawah pendingin ruangan. Aku sempat merasa kedinginan.
"Pake selimut dulu ya biar nggak kedinginan. Ditunggu disini dulu dek."
Setelah itu aku tinggal menunggu dan menunggu. Suara alat yang digunakan untuk memantau detak jantung terdengar selalu disini. Aku menebarkan pandanganku pada sekitar. Banyak obat-obatan yang ditaruh di rak-rak kaca disana. Aku kini berada di lorong ruang operasi. Aku kembali menatap pendingin ruangan yang ada diatasku. Begitu dingin disini. Diluar sana, ada orang yang menungguku. Menunggu hingga aku keluar dari sini. Aku bersenandung kecil. Menyanyikan lagu favoritku, Each Coming Night yang dinyanyikan oleh Iron and Wine. Lagu itu bisa membuat rasa nyaman berada disini. Tenang sekali.


Will you say when I'm gone away
"My lover came to me and we'd lay
In rooms unfamiliar but until now"



"Eh, sudah ada disini ya." Sapaan dari dr. Issa membuyarkan lamunanku. Aku tertawa kecil ketika melihatnya menggunakan penutup kepala yang bergambar superheroes.
"Iya dok, sudah siap dioperasi. Kok itu lucu banget sih, dok? Tutup kepalanya lucu."
"Iya dong, seharusnya kamu juga pakai yang seperti ini."
Begitu dekat hubungan disini. Suster-suster yang melintas di sebelahku juga selalu mengembangkan senyum kepadaku. Ada seorang dokter yang menghampiriku untuk mengecek kondisiku. Menanyakan apakah aku pusing, mual atau sebagainya. Dia bilang kondisiku sedang baik. Syukurlah aku sedang baik-baik saja. Tuhan menjawab doa hamba-Nya dengan berbagai cara. Cukup lama aku menunggu disini hingga akhirnya.......

"Dokter, ruang operasinya sudah siap." Kata seorang suster laki-laki yang baru saja keluar dari ruang operasi 2.
"Oh ya, langsung saja."
Setelah mendengar instruksi dari dr.Issa, 2 orang suster itu langsung menghampiriku untuk mendorongku masuk ke ruang operasi. " Jangan takut ya." Kata dr. Issa saat aku melewati dirinya. Kini sudah saatnya, bukan?


***

Aku sudah memasuki ruang operasi. Tepat diatasku ada sebuah lampu besar. Tapi, bentuknya tidak seperti di film-film. Tidak menakutkan sama sekali! Disini malah aku bisa tertawa. Karena lagi-lagi aku pindah bed. Entah sebab apa aku harus pindah 2 kali. Kupikir semua tempat tidur itu sama saja. Tetapi tidak untuk mereka.
"Disebelah mana dek sakitnya?" Tanya suster kepadaku.
"Kanan, Sus."
"Oke. Dibuka sedikit dulu ya."
Sudah kubilang diawal tadi bahwa aku sudah pasrah. Mengikuti prosedur yang ada. Mereka memasang berbagai macam alat ditubuhku. Ada yang sedang memasang sebuah tali untuk tensi di kaki kiriku, memasang semacam meja kecil di sisi kananku; tempat untuk meletakkan tanganku yang di infus. Selain itu aku diberi seperti penjepit di jari telunjukku yang mengeluarkan sinar merah. Setelah semua peralatan itu sudah terpasang, suster menyuntikkan sesuatu di infusku. Kupikir rasanya sama seperti tadi ketika dikamar. Tapi, kali ini rasanya biasa. Seketika pandanganku sedikit kabur. Ada seorang dokter yang masuk ke ruang operasi, tapi bukan dr.Issa. Lalu, aku melayangkan pandanganku pada lampu diatas. Aku merasa sangat ingin memejamkan mataku sekarang. Kupejamkan mataku. Setelah itu, aku terlelap. Dan aku tak tahu apa yang terjadi setelah itu.

Mungkin operasi sudah dimulai.

To be continued...

Tuesday, July 19, 2016

Infus Pertama, Operasi Pertama : Ketika akan dioperasi.

"Jangan takut ya, kalau takut, nanti bikin pembuluh darahnya (entah nadi atau apa, aku lupa) mengecil trus malah susah pas jarumnya mau masuk. Jangan dilihat ya." Setelah suster berkata seperti itu, aku menangis tertahan.

Baru seperti ini saja, aku tidak kuat menahan sakitnya yang seperti-- ada sesuatu yang memaksa untuk masuk ke dalam kulit tipisku. Air mataku jatuh dengan pelan di sudut mataku. Dan aku merasakan sakit lagi terlebih saat darahku diambil bersamaan dengan infus ku yang belom selesai terpasang. Sialan! Aku tidak bisa menahan lagi. Kulihat tatapan ibu yang memegangi kakiku, aku tidak boleh cengeng, aku harus kuat. Demi ibu.

Sampailah aku di ruang rawat inapku, Aster 4. Ruang yang berbentuk persegi. Sederhana. Bersih. Dan yang pasti, nyaman sekali. Setelah menyusuri lorong rumah sakit menggunakan kursi roda yang didorong seorang suster, akhirnya aku dapat berbaring ditempat tidurku. Kulihat ke arah jendela. Banyak atap gedung-gedung yang memanggilku. Dari kecil memang aku suka sekali memandangi atap gedung-gedung dari ketinggian. Karena kita tahu bagaimana menjadi tinggi dan bisa melihat semuanya dari atas.

Jam dinding yang menempel mesra didinding menunjukkan jam setengah 10 pagi. Yang dapat kulakukan sekarang hanyalah menggonta-ganti saluran televisi. Berusaha tetap tenang. Sejujurnya aku takut. Sekarang aku ditemani bapak, ibu, kakak dan adikku. Keluargaku lengkap disini. Mungkin rasa takutku sudah pergi dengan sendirinya seiring banyak orang yang menemani. Seseorang mengetuk pintu diluar sana. Hatiku yang tadinya berdebar-debar menjadi sedikit lebih tenang. Dia datang. Joey datang. Beserta kedua sahabatku. Kulihat tatapan matanya yang selalu membuatku teduh. Dia langsung menghampiriku dan mencium keningku. Aku sangat tenang sekarang karena dia ada di sampingku.

"Hai sayang, bagaimana keadaanmu?"
"Aku tadi kesakitan waktu di infus, hehe. Aku malu sebenarnya, baru di infus saja aku sudah nangis, apalagi nanti? Aku takut, sayang."
"Tak apa, kamu nggak perlu takut, sayang. Ada aku disini. Sampai nanti jam besuk nya habis, aku tetap ada disini. Buat kamu."
"I love you." Ada senyum tersimpul dibibirku.
"I love you too, sayang. Sudah makan?"

Aku menggeleng dan menjelaskan kepadanya bahwa sebelum aku dioperasi, aku harus berpuasa terlebih dahulu. Aku teringat dia akan menjadi dokter nantinya. Membayangkan dia memakai seragam dokter. Tampan dan berkharisma. Banyak hal yang kami bicarakan disini. Dia selalu menggenggam tanganku, merapikan rambutku yang selalu berantakan. Terima kasih, Tuhan. Engkau mengirimkan kepadaku seorang malaikat-- malaikat penjagaku.

Jam 11 tepat. 4 jam lagi aku akan memasuki ruang operasi. Seorang suster memasuki ruanganku sambil membawa sekotak obat-obatan.
"Halo dek, aku kasih ini dulu ya." Katanya sambil mengacungkan suntik ke tanganku.
"Sayang! tolong aku!" Bisikku kepada Joey yang berdiri membantu sang suster.

Ternyata yang dia lakukan adalah menutup mataku dan mengelus-elus rambutku. Manis sekali. Aku bisa merasakan cinta yang mengalir lewat sentuhan lembutnya. Ada rasa sakit yang begitu menusuk disana, tapi ada dia. Dia yang begitu mencintaiku. Begitu pula aku. Aku sangat sangat mencintainya. Lebih dari dia mencintaiku. Kini aku tak takut lagi. Kemudian, Joey membantu sang suster yang tengah memasukkan antibiotik didalam infusku. Rasanya cukup aneh. Seperti pegal di sekujur tangan kiriku.
"Nggak papa sayang, itu wajar. Rasanya kemeng kan?" bisiknya di telingaku, seakan-akan dia bisa membaca kebingunganku.
"Hehe, iya nggak papa, dokter. Nanti juga ilang rasanya."

Setelah itu, dia terlelap di sampingku. Menunggu waktu aku di operasi. Sebentar lagi sayang.


To be continued