Tuesday, July 19, 2016

Infus Pertama, Operasi Pertama : Ketika akan dioperasi.

"Jangan takut ya, kalau takut, nanti bikin pembuluh darahnya (entah nadi atau apa, aku lupa) mengecil trus malah susah pas jarumnya mau masuk. Jangan dilihat ya." Setelah suster berkata seperti itu, aku menangis tertahan.

Baru seperti ini saja, aku tidak kuat menahan sakitnya yang seperti-- ada sesuatu yang memaksa untuk masuk ke dalam kulit tipisku. Air mataku jatuh dengan pelan di sudut mataku. Dan aku merasakan sakit lagi terlebih saat darahku diambil bersamaan dengan infus ku yang belom selesai terpasang. Sialan! Aku tidak bisa menahan lagi. Kulihat tatapan ibu yang memegangi kakiku, aku tidak boleh cengeng, aku harus kuat. Demi ibu.

Sampailah aku di ruang rawat inapku, Aster 4. Ruang yang berbentuk persegi. Sederhana. Bersih. Dan yang pasti, nyaman sekali. Setelah menyusuri lorong rumah sakit menggunakan kursi roda yang didorong seorang suster, akhirnya aku dapat berbaring ditempat tidurku. Kulihat ke arah jendela. Banyak atap gedung-gedung yang memanggilku. Dari kecil memang aku suka sekali memandangi atap gedung-gedung dari ketinggian. Karena kita tahu bagaimana menjadi tinggi dan bisa melihat semuanya dari atas.

Jam dinding yang menempel mesra didinding menunjukkan jam setengah 10 pagi. Yang dapat kulakukan sekarang hanyalah menggonta-ganti saluran televisi. Berusaha tetap tenang. Sejujurnya aku takut. Sekarang aku ditemani bapak, ibu, kakak dan adikku. Keluargaku lengkap disini. Mungkin rasa takutku sudah pergi dengan sendirinya seiring banyak orang yang menemani. Seseorang mengetuk pintu diluar sana. Hatiku yang tadinya berdebar-debar menjadi sedikit lebih tenang. Dia datang. Joey datang. Beserta kedua sahabatku. Kulihat tatapan matanya yang selalu membuatku teduh. Dia langsung menghampiriku dan mencium keningku. Aku sangat tenang sekarang karena dia ada di sampingku.

"Hai sayang, bagaimana keadaanmu?"
"Aku tadi kesakitan waktu di infus, hehe. Aku malu sebenarnya, baru di infus saja aku sudah nangis, apalagi nanti? Aku takut, sayang."
"Tak apa, kamu nggak perlu takut, sayang. Ada aku disini. Sampai nanti jam besuk nya habis, aku tetap ada disini. Buat kamu."
"I love you." Ada senyum tersimpul dibibirku.
"I love you too, sayang. Sudah makan?"

Aku menggeleng dan menjelaskan kepadanya bahwa sebelum aku dioperasi, aku harus berpuasa terlebih dahulu. Aku teringat dia akan menjadi dokter nantinya. Membayangkan dia memakai seragam dokter. Tampan dan berkharisma. Banyak hal yang kami bicarakan disini. Dia selalu menggenggam tanganku, merapikan rambutku yang selalu berantakan. Terima kasih, Tuhan. Engkau mengirimkan kepadaku seorang malaikat-- malaikat penjagaku.

Jam 11 tepat. 4 jam lagi aku akan memasuki ruang operasi. Seorang suster memasuki ruanganku sambil membawa sekotak obat-obatan.
"Halo dek, aku kasih ini dulu ya." Katanya sambil mengacungkan suntik ke tanganku.
"Sayang! tolong aku!" Bisikku kepada Joey yang berdiri membantu sang suster.

Ternyata yang dia lakukan adalah menutup mataku dan mengelus-elus rambutku. Manis sekali. Aku bisa merasakan cinta yang mengalir lewat sentuhan lembutnya. Ada rasa sakit yang begitu menusuk disana, tapi ada dia. Dia yang begitu mencintaiku. Begitu pula aku. Aku sangat sangat mencintainya. Lebih dari dia mencintaiku. Kini aku tak takut lagi. Kemudian, Joey membantu sang suster yang tengah memasukkan antibiotik didalam infusku. Rasanya cukup aneh. Seperti pegal di sekujur tangan kiriku.
"Nggak papa sayang, itu wajar. Rasanya kemeng kan?" bisiknya di telingaku, seakan-akan dia bisa membaca kebingunganku.
"Hehe, iya nggak papa, dokter. Nanti juga ilang rasanya."

Setelah itu, dia terlelap di sampingku. Menunggu waktu aku di operasi. Sebentar lagi sayang.


To be continued

No comments:

Post a Comment