Saturday, August 20, 2016

Ku Titipkan Rinduku pada Pinus-Pinus itu

Buat yang waktu itu bersamaku : Dina, OV, dan Wiwik.

"Sayang, liat deh. Motorku seksi banget 'kan?"
"Besok kalau sudah menikah, aku akan membangun panti rehabilitasi untuk orang yang sakit jiwa. Kamu setuju 'kan?"
"Sayang, maafin aku. Aku tidak lolos tes masuk universitas."
"Aku sedih sayang, nilaiku jelek. Aku kasihan orang tuaku. Aku sedih karena tidak bisa ngasih nilai bagus ke mereka."
"Sayang, mau dong dibersihin komedonya. Mukaku sudah kotor sekali."
"Sayang, les mu udah selesai? Aku jemput ya."
"Ayo kita beli waffle sayang. Itu makanan kesukaanku."
"Dulu jaman aku masih SMP, setiap pulang sekolah pasti ibuku ngajak aku makan mie bandung disini."
"Sayang, besok temenin aku kondangan ya."

Suara itu terngiang-ngiang dikepalaku sepanjang jalan kota Yogyakarta. Melihat orang-orang berlalu lalang dijalanan. Beberapa dari mereka yang sedang berada dijalanan, ada yang mengendarai sepeda motor seperti yang kau miliki. Membuatku teringat pada dirimu. Sepeda motor itu seperti kekasihmu keduamu. Banyak ide-ide kreatif khas anak motor yang kau tuangkan pada sepeda motormu yang berwarna kombinasi orange-hitam-putih itu. Kemudian kau bawa untuk membelah jalan raya Kota Solo yang romantis. Banyak cerita yang kita bicarakan diatas sepeda motor itu. Ah, rindu sekali.

"Sayang, aku kopdar dulu ya."
"Wah, aku suka sekali roti tawar rasa pandan. Menurutku ini yang paling enak dari semua roti!"
"Nggak habis makananmu? Yaudah sini, sayang. Biar aku habiskan."
"Sayang, Ibu dirumah masak sambel terasi nggak?"
 "Sayang, aku pilek. Pusing kepalaku."
"Kamu marah kenapa, sayang?"
"Maafin aku ya, sayang. Aku tadi lagi neduh dipinggir jalan. Jadi tadi nggak bisa ngabarin kamu."
"Ya Allah, sayang.. Kamu harus mau dioperasi sayang. Aku nggak mau kamu sakit begini terus."

 Kenangan itu. Suara itu. Banyak sekali. Tapi, ada yang selalu melekat dikepalaku dan selalu membuatku merasa runtuh.

"Kamu sayang sama aku 'kan, sayang?"

Itu dulu. Dua minggu yang lalu tepatnya.

                                            ***

"Megan, kamu kenapa? Kok diam saja?" Pertanyaan Wiwik, temanku, membuatku sedikit mengangkat kepalaku yang bertumpu dengan manis pada tanganku yang bersandar ke kaca mobil.
"Hei, aku nggak apa-apa, Wik. Hanya ingin menikmati perjalanan saja."
"Kangen dia ya?" Aku hanya tersenyum simpul ketika pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir temanku.
"Iya. Aku kangen."

Iya. Memang benar. Kerinduanku muncul begitu saja tanpa direncanakan. Rindu akan selalu muncul bagi orang-orang yang memutuskan untuk berjalan ke arah yang dipilih. Melangkah ke jalan baru tanpa ada orang yang sama disisinya. Kini aku berjalan ke arah yang kupilih, tanpa ada dirimu lagi. Setelah kebohonganmu mulai terungkap pada malam itu, kau putuskan untuk pergi. Semua itu cukup untuk membuatku larut dalam kepedihan yang mendalam. Seperti butiran gula yang larut di setiap es teh yang kau minum.

Aku tak pernah siap dengan sebuah kepergian. Kepergianlah yang mengajarkan kita untuk percaya dan tabah. Banyak hal yang kau ajarkan kepadaku. Tetapi, kau tidak pernah mengajarkanku bagaimana caranya untuk kuat. Karena, kita berdua sama-sama percaya bahwa cinta mampu membendung keinginan untuk pergi. Dan ternyata? Sebuah nama lain diluar sana membuatmu pergi. Kepergian yang baik adalah kepergian yang tak pernah kembali. Untuk apa kembali jika kepulanganmu itu hanya untuk mengulang sebuah kesalahan yang sama? Yang ku maksud kepergian disini adalah kepergian sebuah rasa cinta. Hampa. Sesak.

Hembusan angin kering yang masuk tanpa permisi ke dalam mobil membuat diriku semakin merasa larut dalam nostalgia pahit. Memang aku meminta untuk mematikan AC. Karena, kurasa angin disini ramah untuk dinikmati. Ku arahkan pandanganku pada cuaca cerah diluar sana dan membiarkan wajahku diterpa semilirnya angin. Kupejamkan mataku. Ku lepas rasa hampa dihari-hariku tanpa dirimu. Lalu, saat kubuka mataku perlahan, rasa itu sedikit berkurang. Lantunan nada dari lagu favoritku, How Could You dari The Triangle terdengar sayup-sayup indah. Kami berempat hanya diam di mobil dengan kesibukan masing-masing yang membelenggu.
OV yang fokus mengendarai mobil.
Dina yang agak mengantuk karena angin menerpa dirinya.
Wiwik yang menahan mual karena jalanan yang berliku-liku.
Tak ada yang bicara hingga akhirnya ada papan kayu yang bertuliskan "Hutan Pinus Mangunan".
Akhirnya kita sampai disini. Di Hutan Pinus. Tetapi, tanpa kamu.

                                            ***

Bau khas pohon pinus memenuhi hidungku setiap aku menarik napas disini. Cahaya mentari yang menyorot lembut diriku diantara dahan-dahan pinus yang tinggi. Ku tengadahkan kepala untuk melihat pada bagian teratas sang pinus yang begitu jauh diatasku. Begitu tinggi dan kokoh. Aku membayangkan kau juga ada disini.
Kau pasti senang berada disini.
Kau pasti suka ketika udara sejuk menyergap ketika kau membuka jaket.
Kau pasti suka saat lelahmu selama perjalanan penuh lika-liku terbayarkan dengan suasana indah yang tercipta.
Kau pasti tersenyum saat melihatku melangkah diantara pohon-pohon pinus dengan penuh kebahagiaan.
Kau yang selalu tersenyum saat aku tertawa bahagia.
Sekaligus, kau juga yang selalu mengerucutkan bibirmu saat aku bersedih.
Setidaknya kau pernah menjadi yang terbaik. Terbaik pada masanya. Semua manusia seperti itu, akan menjadi yang terbaik pada masanya. Tetapi, tak semua manusia menjadi yang terbaik hanya pada masanya saja. Ada pula manusia yang menjadi terbaik untuk selamanya. Selamanya. Kata selamanya itu berat. Maka dari itu, tidak semua orang mampu bertahan untuk selamanya. Hanya orang-orang kuat yang mampu menjadi selamanya ketika semuanya runtuh. Dan kau bukan orang itu.

Kami berempat menyusuri jalan setapak yang dibuat rapi dengan riang. Kami senang, rencana dadakan yang kami buat, menjadi kenyataan. Mengingat kemarin malam, Wiwik mengajakku untuk bergabung dengannya, OV dan Dina hanya lewat chat. Hanya bermodal tekad dan sedikit uang, kami berangkat. Dan sekarang, kami berada disini. Terima kasih, Tuhan. Engkau mengirimkan sahabat-sahabat yang sudah seperti saudara-sedarah kepadaku yang sedang rapuh ini. Memang hanya Tuhan Yang Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Apapun yang diberikan Tuhan itu yang terbaik. Apapun.

Apakah kau juga meyakini bahwa apapun yang diberikan Tuhan itu yang terbaik untukmu?

Kuharap jawabannya ialah, Iya.

                                            ***

Sang pinus bergerak perlahan karena tiupan angin hutan yang ramah. Tak jarang ada kembang dari pinus yang jatuh mengagetkanku. Aku memungutnya. Mengamati detail dari kembang itu. Mataku berbinar-binar saat aku menggenggam kembang pinus yang mekar dengan sempurna. Baiklah, akan kusimpan kembang yang kupungut tadi itu. Untuk mengingatkan aku pada sebuah kebahagiaan kecil yang dibuat oleh sahabat-sahabatku untukku. Lalu, pada apalagi aku harus menitipkan sepotong rinduku yang tak berujung ini? Rinduku ini untukmu. Untuk kita. Untuk kebersamaan kita. Lagi-lagi, nostalgia pahit datang menyergap diriku. Tentang kepergianmu; membuatku teringat akan sesuatu yang dulu pernah kita bicarakan dengan menggebu-gebu. Tentang pinus, cahaya sang surya yang lembut menembus dahan-dahan pinus yang kokoh, dan tanah yang sedikit lembab. Sayangnya, aku merasakan impian kita tanpa kamu sekarang.

Aku sadar,
Kau telah mengajarkanku sebuah rasa untuk bertahan.
Kau telah mengajarkanku sebuah cara untuk berdiri.
Kau telah mengajarkanku sebuah keyakinan untuk hari yang lebih baik.
Dengan kepergianmulah, aku menjadi seseorang yang sadar.
Bahwa tidak semua pelajaran yang kau ajarkan kepadaku itu harus dengan cara kita bersama. Ada sebuah pelajaran pahit yang kau ajarkan kepadaku dengan cara yang tak semua orang suka.

Melalui sebuah perpisahan. Ya, perpisahan.

Kini aku berdiri diantara pohon-pohon pinus yang begitu tinggi. Aku mempunyai sebuah kebiasaan yang selalu kulakukan ketika rasa sedih datang. Ku tutup mataku. Ku tarik napas panjang. Ku hembuskan perlahan. Dan yang terakhir, ku buka mataku. Ku buka mataku perlahan, dengan harapan ketika ku buka mataku kau ada disana. Tersenyum kepadaku.
Sayangnya, kau tidak ada disana saat kubuka mataku. 

Pinus, aku titipkan rinduku pada dahan-dahanmu yang kokoh. Sampaikan salam rinduku padanya, saat dia sudah menginjakkan kakinya kesini. Jadilah saksi bisu atas senyum lebarnya yang kurindukan. Bersama orang baru. Orang yang dia temukan dalam pengkhianatan.

Salam,
Megan. Yang merindukanmu.
 

Thursday, August 4, 2016

Infus Pertama, Operasi Pertama : Tanpa Rasa Sakit. Akhirnya.

Ada seorang dokter yang masuk ke ruang operasi, tapi bukan dr.Issa. Lalu, aku melayangkan pandanganku pada lampu diatas. Aku merasa sangat ingin memejamkan mataku sekarang. Kupejamkan mataku. Setelah itu, aku terlelap. Dan aku tak tahu apa yang terjadi setelah itu.

Mungkin operasi sudah dimulai

                                            *** 

Apakah kau tahu bagaimana rasanya tidur tanpa bermimpi?
Apakah kau tahu bagaimana rasanya setiap hari terbayang-bayang akan sesuatu yang ada pada dirimu dan kau tak mengerti apa itu sebenarnya?
Apakah kau tahu bagaimana rasanya minum obat setiap dua belas jam sekali?
Kini aku terpejam tanpa bermimpi apapun.
Semuanya gelap.
Ini bukanlah sekedar tertidur dengan lelap.
Aku terlelap tanpa rasa sakit.
Diantara kegelapan yang mendekapku,
Ada sesuatu yang samar,
Ketika aku bertemu dengan hal yang samar itu,
Aku merasakan bahagia.
Dalam lelapku tanpa mimpi itu aku merasa bahagia.
Entah kemana perginya sesuatu yang 'samar' itu.
Aku tak pernah ingat itu apa. Hingga sekarang.
Aku tak bisa menjelaskannya disini.
Terlalu rumit.
Ada orang-orang yang setia menunggu diluar sana.
Termasuk juga dia.
Tapi aku merasa nyaman sekali berada di kegelapan ini.
Tenang.
Tanpa rasa sakit.
Dan sedikit rasa dingin.

Sudah. Cukup. Saatnya untuk bangun.

                                            *** 

Kubuka mataku perlahan. Sedikit pusing rasanya. Lampu besar yang tadinya berada diatasku kini hilang. Aku terbangun dengan selang oksigen ada dihidungku. Dengan kekuatanku yang seadanya, kulayangkan pandanganku pada sebelah kanan dan kiriku. Ada yang sudah siuman, ada yang belom siuman. Aku menggigil tak henti-henti. Dingin sekali disini. Kucoba untuk menggerakkan tanganku. Ah! Perih sekali diketiak kananku. Baru kusadari, operasiku sudah selesai. Aku merasa lemah sekali. Aku coba untuk melihat apa yang mengganjal di dalam bajuku. Ada perban besar yang ada di ketiak kananku, tempat dimana benjolanku selama ini bersarang.
"Kenapa dek? Dingin ya? Saya tambah selimutnya." Seorang suster mendatangi dan membawa 1 selimut lagi.
"Dingin, suster.." Jawabku lemah.
Kini ditubuhku ada sebuah luka. Luka yang akan menjadi sebuah bekas. Itulah yang akan menjadi pengingatku bagaimana rasanya menjadi seseorang yang diperhatikan dan selalu dihantui ketakutan. Kontras. Selalu ada ketenangan dibalik kegelisahan. Entah ketenangan yang dibawa orang lain, atau ketenangan yang kita buat sendiri.

Sudah saatnya aku untuk keluar dari IKB. Suster yang tadi mengantarku ke IKB ternyata sudah menunggu di pintu keluar. Aku tak ada daya lagi. Seluruh tubuhku dingin dan aku menggigil tak henti-henti. Aku sudah ditempatkan di bed ku yang lama. Bed yang kupakai dikamar. Suster mendorongku keluar IKB. Seketika keluargaku, sahabat-sahabatku dan juga dia langsung menghampiriku untuk segera menuju ke kamar. Lemas dan tak berdaya, tubuhku masih merasa dingin meskipun sudah ada diluar sini. Dengan sigap, suster langsung memasukkanku ke dalam lift agar aku segera masuk ke kamar lagi. Sayangnya hanya ada ibu dan Joey yang bisa masuk ke lift ini. Kugenggam tangannya, tangan Joey. Hangat sekali.
"Sayang... dingin sekali. Aku nggak bisa berhenti menggigil." bisikku pelan.
"Sabar sayang. Setelah ini hangat kok."

                                            *** 

Kepalaku hanya bisa menengadah ke atas. Aku tak bisa banyak gerak sekarang. Tangan sebelah kananku tak bisa kugerakkan karena masih perih sekali dan rasanya kemeng. Sahabat-sahabatku mengelilingi tempat tidurku. Ada yang memegang kakiku. Mereka bilang kakiku dingin sekali. Maka dari itu mereka memegangnya supaya kehangatan dari tangannya mereka bisa menyalur ke kakiku. Aku terus menggigil. Diruanganku hanya terdengar suara gigiku yang saling berpagutan karena aku menggigil. Tak pernah aku merasa seperti ini sebelumnya. Ibu membelai rambutku.
"Bu, Megen nggak bisa berhenti menggigil.." Kataku kepada Ibu hingga air mataku keluar sedikit.
"Loh, Megan nggak boleh nangis. Kamu sudah sembuh, Gan." Pada saat airmataku turun sedikit, teman-temanku berbicara seperti itu.
"Dulu Ibu juga gini waktu abis operasi caesar. Nggak papa dek." Kata ibu pelan. Kulihat disisi kananku, sudah ada Joey. Dia menatapku lekat-lekat. Aku melihat sekelilingku. Sahabat-sahabatku ada disini. Untukku. Beberapa saat setelah itu, aku berhenti menggigil. Aku merasa membaik. Sekali lagi ku lihat apa yang kini berada di ketiak kananku. Ada sebuah kapas dan perban. Membalut luka operasi dengan manis disana.

Beberapa waktu aku membelai wajah Joey dengan pelan. Aku tersenyum kepadanya. Dia menggenggam tanganku yang sedang membelai wajahnya.
"Terima kasih sudah menemani aku, sayang. Kamu pulang saja nggak papa, kamu harus istirahat. Mandi juga jangan lupa ya.." Ujarku kepadanya.
"Iya sayang, kamu cepet sembuh ya. Istirahat biar kamu bisa pulih lagi. Biar nanti setelah bekas jahitan kamu sembuh, kita bisa jalan-jalan ke Gramedia. Beli komik kesukaan kamu, Miiko. Ya, sayang?"
"Tentu saja aku mau, sayang. Aku nggak sabar buat sembuh."

Setelah itu banyak orang yang datang silih berganti. Termasuk suster yang selalu memasukkan obat-obatan, vitamin ke dalam infusku. Terkadang infusku berwarna kuning, kadang infusku bening. Besok aku sudah bisa pulang.

Aku menengok ke arah jendela. Aku bisa melihat pemandangan yang kusukai. Yaitu, ratusan atap gedung. Lagi. Aku bisa memandangnya lagi. Dengan keadaanku yang sudah sembuh.


                                            *** 

Aku sudah sembuh sekarang. Kini aku tinggal merawat bekas operasiku ini. Terima kasih Tuhan. Engkau telah mengirimkan orang-orang yang mencintaiku dan aku juga mencintai mereka semua.
Buat dr.Issa, seorang dokter yang friendly dan suka bertanya tentang kuliah. Dokter luar biasa!
Buat Bapak, Ibu, Logan dan Rama. Keluargaku yang setia menungguku di Rumah Sakit.
Buat Dhilla, orang pertama yang menjengukku.
Buat Nafi'ah, orang pertama yang ku telepon setelah jarum infus menancap ditanganku.
Buat Adit, Satomo, teman-teman lelaki yang berisik dikamar rawat inapku.
Buat Devi dan Dimas, pasangan cinta yang membawa roti-roti kesukaanku.
Buat Pasya, Novi, sahabat dekat rumah yang ijin mau les ternyata malah menjengukku di Rumah Sakit.
Buat Nabila, Mas Nadiem, Natiqa, sekumpulan orang yang nge-snapchat ku ketika aku akan masuk ruang operasi.
Buat Wiwik, Ov, sahabatku yang ingin menangis ketika melihatku menggigil. Kata mereka, "aku nggak tega melihatnya seperti itu!"
Buat Dina, sahabatku sedari SMP yang menemani Ibu untuk menginap di Rumah Sakit.
Buat Jyesta, Irfan, Gigih, Angga, Abu, Ridho, Khatib, sahabat-sahabat lelaki yang datang malam-malam sambil membawa sate, donat dan keceriaan di kamarku.
dan satu lagi,

Buat Joey, seorang laki-laki tangguh yang menemaniku dari aku masuk Rumah Sakit hingga aku pulang ke rumah. Seorang laki-laki yang meneleponku hanya untuk bertanya ingin dibawakan apa. Seorang laki-laki yang mengoleskan alkohol ketika tanganku terasa kemeng. Seorang laki-laki yang bertindak layaknya dokter dan dia serba tahu.

Terima kasih semuanya. Aku sudah kembali seperti dulu. Namun, kini ditubuhku tidak lagi seperti dulu. Ada goresan mungil yang ada di ketiakku. Yang dulunya ada seperti benjolan. Dan aku kira itu hanya perubahan bentuk. Ternyata, itu harus dioperasi. Terima kasih sudah menemani, memberi bibit cinta yang singkat di sebuah kamar kecil tempatku dirawat. Ini adalah hadiah terindah dari Tuhan. Untukku.


Sampai Jumpa.
Salam hangat dari orang yang dioperasi waktu itu,

Megan.