Thursday, August 4, 2016

Infus Pertama, Operasi Pertama : Tanpa Rasa Sakit. Akhirnya.

Ada seorang dokter yang masuk ke ruang operasi, tapi bukan dr.Issa. Lalu, aku melayangkan pandanganku pada lampu diatas. Aku merasa sangat ingin memejamkan mataku sekarang. Kupejamkan mataku. Setelah itu, aku terlelap. Dan aku tak tahu apa yang terjadi setelah itu.

Mungkin operasi sudah dimulai

                                            *** 

Apakah kau tahu bagaimana rasanya tidur tanpa bermimpi?
Apakah kau tahu bagaimana rasanya setiap hari terbayang-bayang akan sesuatu yang ada pada dirimu dan kau tak mengerti apa itu sebenarnya?
Apakah kau tahu bagaimana rasanya minum obat setiap dua belas jam sekali?
Kini aku terpejam tanpa bermimpi apapun.
Semuanya gelap.
Ini bukanlah sekedar tertidur dengan lelap.
Aku terlelap tanpa rasa sakit.
Diantara kegelapan yang mendekapku,
Ada sesuatu yang samar,
Ketika aku bertemu dengan hal yang samar itu,
Aku merasakan bahagia.
Dalam lelapku tanpa mimpi itu aku merasa bahagia.
Entah kemana perginya sesuatu yang 'samar' itu.
Aku tak pernah ingat itu apa. Hingga sekarang.
Aku tak bisa menjelaskannya disini.
Terlalu rumit.
Ada orang-orang yang setia menunggu diluar sana.
Termasuk juga dia.
Tapi aku merasa nyaman sekali berada di kegelapan ini.
Tenang.
Tanpa rasa sakit.
Dan sedikit rasa dingin.

Sudah. Cukup. Saatnya untuk bangun.

                                            *** 

Kubuka mataku perlahan. Sedikit pusing rasanya. Lampu besar yang tadinya berada diatasku kini hilang. Aku terbangun dengan selang oksigen ada dihidungku. Dengan kekuatanku yang seadanya, kulayangkan pandanganku pada sebelah kanan dan kiriku. Ada yang sudah siuman, ada yang belom siuman. Aku menggigil tak henti-henti. Dingin sekali disini. Kucoba untuk menggerakkan tanganku. Ah! Perih sekali diketiak kananku. Baru kusadari, operasiku sudah selesai. Aku merasa lemah sekali. Aku coba untuk melihat apa yang mengganjal di dalam bajuku. Ada perban besar yang ada di ketiak kananku, tempat dimana benjolanku selama ini bersarang.
"Kenapa dek? Dingin ya? Saya tambah selimutnya." Seorang suster mendatangi dan membawa 1 selimut lagi.
"Dingin, suster.." Jawabku lemah.
Kini ditubuhku ada sebuah luka. Luka yang akan menjadi sebuah bekas. Itulah yang akan menjadi pengingatku bagaimana rasanya menjadi seseorang yang diperhatikan dan selalu dihantui ketakutan. Kontras. Selalu ada ketenangan dibalik kegelisahan. Entah ketenangan yang dibawa orang lain, atau ketenangan yang kita buat sendiri.

Sudah saatnya aku untuk keluar dari IKB. Suster yang tadi mengantarku ke IKB ternyata sudah menunggu di pintu keluar. Aku tak ada daya lagi. Seluruh tubuhku dingin dan aku menggigil tak henti-henti. Aku sudah ditempatkan di bed ku yang lama. Bed yang kupakai dikamar. Suster mendorongku keluar IKB. Seketika keluargaku, sahabat-sahabatku dan juga dia langsung menghampiriku untuk segera menuju ke kamar. Lemas dan tak berdaya, tubuhku masih merasa dingin meskipun sudah ada diluar sini. Dengan sigap, suster langsung memasukkanku ke dalam lift agar aku segera masuk ke kamar lagi. Sayangnya hanya ada ibu dan Joey yang bisa masuk ke lift ini. Kugenggam tangannya, tangan Joey. Hangat sekali.
"Sayang... dingin sekali. Aku nggak bisa berhenti menggigil." bisikku pelan.
"Sabar sayang. Setelah ini hangat kok."

                                            *** 

Kepalaku hanya bisa menengadah ke atas. Aku tak bisa banyak gerak sekarang. Tangan sebelah kananku tak bisa kugerakkan karena masih perih sekali dan rasanya kemeng. Sahabat-sahabatku mengelilingi tempat tidurku. Ada yang memegang kakiku. Mereka bilang kakiku dingin sekali. Maka dari itu mereka memegangnya supaya kehangatan dari tangannya mereka bisa menyalur ke kakiku. Aku terus menggigil. Diruanganku hanya terdengar suara gigiku yang saling berpagutan karena aku menggigil. Tak pernah aku merasa seperti ini sebelumnya. Ibu membelai rambutku.
"Bu, Megen nggak bisa berhenti menggigil.." Kataku kepada Ibu hingga air mataku keluar sedikit.
"Loh, Megan nggak boleh nangis. Kamu sudah sembuh, Gan." Pada saat airmataku turun sedikit, teman-temanku berbicara seperti itu.
"Dulu Ibu juga gini waktu abis operasi caesar. Nggak papa dek." Kata ibu pelan. Kulihat disisi kananku, sudah ada Joey. Dia menatapku lekat-lekat. Aku melihat sekelilingku. Sahabat-sahabatku ada disini. Untukku. Beberapa saat setelah itu, aku berhenti menggigil. Aku merasa membaik. Sekali lagi ku lihat apa yang kini berada di ketiak kananku. Ada sebuah kapas dan perban. Membalut luka operasi dengan manis disana.

Beberapa waktu aku membelai wajah Joey dengan pelan. Aku tersenyum kepadanya. Dia menggenggam tanganku yang sedang membelai wajahnya.
"Terima kasih sudah menemani aku, sayang. Kamu pulang saja nggak papa, kamu harus istirahat. Mandi juga jangan lupa ya.." Ujarku kepadanya.
"Iya sayang, kamu cepet sembuh ya. Istirahat biar kamu bisa pulih lagi. Biar nanti setelah bekas jahitan kamu sembuh, kita bisa jalan-jalan ke Gramedia. Beli komik kesukaan kamu, Miiko. Ya, sayang?"
"Tentu saja aku mau, sayang. Aku nggak sabar buat sembuh."

Setelah itu banyak orang yang datang silih berganti. Termasuk suster yang selalu memasukkan obat-obatan, vitamin ke dalam infusku. Terkadang infusku berwarna kuning, kadang infusku bening. Besok aku sudah bisa pulang.

Aku menengok ke arah jendela. Aku bisa melihat pemandangan yang kusukai. Yaitu, ratusan atap gedung. Lagi. Aku bisa memandangnya lagi. Dengan keadaanku yang sudah sembuh.


                                            *** 

Aku sudah sembuh sekarang. Kini aku tinggal merawat bekas operasiku ini. Terima kasih Tuhan. Engkau telah mengirimkan orang-orang yang mencintaiku dan aku juga mencintai mereka semua.
Buat dr.Issa, seorang dokter yang friendly dan suka bertanya tentang kuliah. Dokter luar biasa!
Buat Bapak, Ibu, Logan dan Rama. Keluargaku yang setia menungguku di Rumah Sakit.
Buat Dhilla, orang pertama yang menjengukku.
Buat Nafi'ah, orang pertama yang ku telepon setelah jarum infus menancap ditanganku.
Buat Adit, Satomo, teman-teman lelaki yang berisik dikamar rawat inapku.
Buat Devi dan Dimas, pasangan cinta yang membawa roti-roti kesukaanku.
Buat Pasya, Novi, sahabat dekat rumah yang ijin mau les ternyata malah menjengukku di Rumah Sakit.
Buat Nabila, Mas Nadiem, Natiqa, sekumpulan orang yang nge-snapchat ku ketika aku akan masuk ruang operasi.
Buat Wiwik, Ov, sahabatku yang ingin menangis ketika melihatku menggigil. Kata mereka, "aku nggak tega melihatnya seperti itu!"
Buat Dina, sahabatku sedari SMP yang menemani Ibu untuk menginap di Rumah Sakit.
Buat Jyesta, Irfan, Gigih, Angga, Abu, Ridho, Khatib, sahabat-sahabat lelaki yang datang malam-malam sambil membawa sate, donat dan keceriaan di kamarku.
dan satu lagi,

Buat Joey, seorang laki-laki tangguh yang menemaniku dari aku masuk Rumah Sakit hingga aku pulang ke rumah. Seorang laki-laki yang meneleponku hanya untuk bertanya ingin dibawakan apa. Seorang laki-laki yang mengoleskan alkohol ketika tanganku terasa kemeng. Seorang laki-laki yang bertindak layaknya dokter dan dia serba tahu.

Terima kasih semuanya. Aku sudah kembali seperti dulu. Namun, kini ditubuhku tidak lagi seperti dulu. Ada goresan mungil yang ada di ketiakku. Yang dulunya ada seperti benjolan. Dan aku kira itu hanya perubahan bentuk. Ternyata, itu harus dioperasi. Terima kasih sudah menemani, memberi bibit cinta yang singkat di sebuah kamar kecil tempatku dirawat. Ini adalah hadiah terindah dari Tuhan. Untukku.


Sampai Jumpa.
Salam hangat dari orang yang dioperasi waktu itu,

Megan.

No comments:

Post a Comment