Wednesday, February 10, 2016

Hujan, Awan dan Kenangan

Hari ke Sebelas. Surat ke Lima.
Apa kabar kenangan? Sekian lama kau tertidur nyenyak di dalam bagian pikiranku yang lama tak ku sentuh. Kau sudah berdebu ya? Maaf, bukannya aku tak mencintaimu. Tetapi, aku tak ingin mengganggu tidurmu yg lelap dan sedang bermimpi indah di antara kenangan-kenangan ku yang abadi.

Apa kabar hujan? Akhir-akhir ini kau sering turun bersama angin yang dengan kejam berhembus menebarkan hawa dingin kepadaku. Tak tahu kah kau rasanya kedinginan? Kau selalu mengajarkanku untuk tak takut jatuh meski harus berkali-kali. Mengajarkanku untuk (tidak) selalu merenungi kenangan yang sudah lama tak ku sentuh. Namun, aku selalu terdiam saat hujan. Duduk bersandar pada besi pembatas yang berada di ujung koridor lantai 3 sekolah. Melihat orang-orang saling menjauh darimu, Hujan. Mereka hanya takut kedinginan dan basah. Sudah, jangan menyalahkan dirimu.

Kau datang bersama awan mendung yang bagi orang-orang biasa menjadi penanda agar mereka segera pulang. kata mereka hujan akan segera turun. Awan mendung tak melulu berbicara tentang hujan. Awan tak selalu mendung. Seperti hati, sedih namun tak berarti harus menangis. Awan selalu bergerak mengikuti kemana sang angin meniupkan arah kepadanya. Terapung-apung di langit yang tiada batas. Disanalah titik-titik hujan terbentuk. Disanalah kebahagiaan muncul. 

Hujan dan awan mengingatkanku pada kenangan-kenangan yang lama tak kusapa. Begitu baik nya dirimu hujan dan awan. Kau membuatku ingat pada sesuatu yang dulu ku sebut cinta. Awan lah yang membentuk hujan. Menyimpan butir-butir hujan yang menjadi berkah bagi umat manusia.

Awan, simpanlah hujan baik-baik hingga aku tiba di tempat yang ku tuju.
Hujan, tolong berikan mereka kesempatan untuk merenungi kenangan usang yang lama tak mereka sapa. Biarkan kenangan tetap tinggal bersemayam di kalbu mereka.

Untuk Hujan, yang turun begitu deras di sore ini.
Dari Megan, Penggemar bau hujan.

No comments:

Post a Comment