Thursday, February 18, 2016

Kepada Mentariku

Hari ke Sembilan Belas. Surat ke Sebelas.

Kepada : Mentariku.

Hei, Mentari. Bolehkah aku memanggilmu mentari? Aku tak tahu apakah hanya aku yang merasakan kehangatanmu di tengah Februari yang penuh dengan hujan ini. Apa teman-teman tidak merasakan kehatangan yang kau pancarkan?
Kulitmu tidak terlalu hitam, namun tidak terlalu putih pula. Bentuk matamu mirip dengan mata orang pada umumnya. Terkadang, Tuhan dengan Kreatifitasnya Yang Maha Agung membuat bentuk mata orang dengan ciri khas masing-masing. Aku sering menemui orang yang bermata seperti kacang almond. Kau tau, 'kan? Tapi, Mentariku tidak. Bentuk matanya sama dengan orang kebanyakan, tapi pandanganmulah  yang membuat aku ingin berlama-lama menatap bayangan diriku yang tergambar jelas di kilau matamu. Jemarimu tidak menggambarkan sifat laki-laki yang biasanya keras, kaku, dan misterius. Tapi, bagiku kau adalah laki-laki yang bisa menghargai perasaan perempuan dan mampu menjadikan kehadiran perempuan adalah hal yang harus di jaga. Bukan hanya dinikmati.

Mentari, aku mengenal mu sejak dulu. Dulu, lama sekali. Aku dulu mengenalmu sebagai murid laki-laki yang aneh dan pendiam di kelas. Tapi, keadaan merubahmu, Mentari. Kini, kau menjelma menjadi seorang lelaki yang bisa diandalkan dan pastinya sekarang kau tumbuh tinggi lebih tinggi dariku. Entahlah, Mentari. Aku merasa semuanya kini begitu jauh.

Kau ingin tahu mengapa aku memanggilmu Mentari? Karena setiap orang yang ada di dekatmu merasa kau orang yang penuh kehangatan. Ibarat matahari di angkasa, bumi memang jauh dari matahari, namun bumi tetap bisa merasakan kehangatan matahari. Seperti mentari disaat pagi hari. Menyapaku dengan kehangatan yang mampu meluluhkan hati yang keras, kaku, dan dingin. Itulah aku. Aku meleleh karena kehangatanmu, Mentari. Aku suka bermandikan sinar mentari pagi, begitu hangat dan diriku terasa hidup. Dulunya aku adalah orang yang berhati kaku dan dingin. Tapi, Mentari datang dengan kehangatannya yang begitu ramah dan lembut. Kenyamanan yang kau ciptakan seakan-akan membuat mereka ingin mengajakmu berkumpul bersama di pojok koridor lantai 3. Dan aku, hanya melihatmu dari tempatku duduk bersama teman-teman.

Kini, kau dan aku tak sedekat dulu. Kau dan aku saling mengerti isi hati satu sama lain. Sejujurnya, kau menjadi bagian hatiku beberapa waktu yang lalu. Tapi, aku memutuskan untuk memilih jalanku sendiri dan berjalan menjauh darimu. Tapi, kini saat aku sudah jauh darimu, ada rasa penyesalan yang terbesit di dasar hatiku. Dan aku mencoba untuk tidak peduli. 

Mungkin, ini saatnya aku untuk menjalani musim dingin tanpamu, Mentari. Oh iya, apakah kau bisa menyinariku lagi?
Tenanglah, Mentari. Aku akan tetap berjalan menjauh dari tempatmu berdiri.

Dari Megan, yang merindukan kehangatan yang kau pancarkan untukku.

No comments:

Post a Comment