Monday, February 13, 2017

Untuk Senja dengan Temaramnya

Hari ke Enam. Surat ke Lima.

Buat : Senja dan Cahaya Temaramnya.

Hai, Senja. Apakah pagimu tadi baik-baik saja? Menjadi sebuah ironi ketika aku hanya mencintaimu tanpa mencintai sang pagi. Aku mencintai pagi layaknya aku mencintaimu, senja. Terlebih saat pagiku dipenuhi aroma susu dengan cita rasa vanilla yang tanpa permisi melewati hidungku dan kemudian memberiku sebuah rangsangan untuk segera bangun dari lelapku. Aku selalu suka dengan rasa hangat dari secangkir susu kesukaanku melewati kerongkonganku. Memberi sebuah perantara akan rasa cinta yang dituangkan jemari gemulai ibu ke tetesan-tetesan susu vanilla untuk anaknya. Itu sedikit kenanganku untuk pagi, senja.
Jangan biarkan ranting iri memenuhi cabangmu, senja.

Kau datang saat mentari bergegas menuju peraduan bersama rasa lelah menggelayuti cahayanya. Yang cahayanya dibuat berubah menjadi sedikit kemerahan. Yang aku sering memanggilnya dengan Temaram. Di kala kau (baca: senja) datang kembali ketika sang pagi telah berpulang, kau mengingatkanku pada sebuah perpisahan. Perpisahanku dengan sang pagi beserta cahaya benderang dari mentari. Seakan-akan cahaya benderangnya ditelan dengan cahaya temarammu.

Kau pasti tahu disudut mana aku suka menatapi langit temarammu, senja. Dari depan pintu rumahku yang berhadapan langsung dengan tanaman-tanaman kesayangan ibu. Dari sudut itu aku suka meneliti pergerakan awan yang saling berkejaran dengan cahaya mentari sore.
Hei, lihat! Awan mendung itu mengganggu kecantikan yang dibuat oleh temaram, senja!
Selalu timbul dibenakku, mengapa hujan suka sekali turun saat kau mulai beranjak datang? Akhir-akhir ini, kotaku sering kedatangan hujan saat kau mulai datang. Mengapa gerangan?

Apa kau mulai mencintai hujan, senja? Ku pikir kau salah untuk jatuh cinta dengan hujan.
Pernahkah terlintas dipikiranmu akan nasib orang-orang yang hendak berpulang ke rumahnya? Rasa lelah telah memenuhi diri mereka. Mereka ingin segera melepas penat setelah seharian menguras tenaga yang telah disimpan baik-baik disaku mereka. Mengertilah, senja. Aku ingin kau tahu bahwa kadang mencintai seseorang dapat memberi luka bagi orang lain. Hidup ini serba kontras. Ada yang merasa bahagia atas pertemuanmu dengan hujan, ada pula yang bersedih hati atas turunnya hujan bersamaan dengan datangnya dirimu. Sejujurnya, aku suka hujan. Tapi tak selalu. Kadang hujan dapat menorehkan pupus yang tak berujung bagi orang yang sudah memiliki rencana. Mereka adalah orang yang menjadikan hujan sebagai alasan mengapa gagal. Ku harap kau mengerti bahwa kau telah mencintai sesuatu yang salah. Bukannya salah, tapi tak sejalan dengan hati yang mencintai temaram.

Cinta tak pernah salah menilai temaram. Hanya saja, kadang temaram harus mengalah dengan awan mendung yang menjadi pertanda akan turun hujan. Haruskan temaram selalu mengalah? Mungkin untuk cuaca yang tak menentu seperti sekarang ini, temaram harus menurunkan egonya. Untuk memanjakan mata manusia. Cinta kadang tidak tepat tempat, tapi cinta akan membawakan tujuan yang tepat bagi yang tulus meyakininya. Ketahuilah, senja, cinta tak pernah salah arah.

Lalu bagaimana, senja? Kau akan tetap mencintai hujan?

Salam untuk senja, beserta dengan temaramnya yang patut dirindukan.
Megan.

No comments:

Post a Comment