Hari ke Enam. Surat ke Lima.
Buat : Senja dan Cahaya Temaramnya.
Hai,
Senja. Apakah pagimu tadi baik-baik saja? Menjadi sebuah ironi ketika
aku hanya mencintaimu tanpa mencintai sang pagi. Aku mencintai pagi
layaknya aku mencintaimu, senja. Terlebih saat pagiku dipenuhi aroma
susu dengan cita rasa vanilla yang tanpa permisi melewati
hidungku dan kemudian memberiku sebuah rangsangan untuk segera bangun
dari lelapku. Aku selalu suka dengan rasa hangat dari secangkir susu
kesukaanku melewati kerongkonganku. Memberi sebuah perantara akan rasa
cinta yang dituangkan jemari gemulai ibu ke tetesan-tetesan susu vanilla untuk anaknya. Itu sedikit kenanganku untuk pagi, senja.
Jangan biarkan ranting iri memenuhi cabangmu, senja.
Kau
datang saat mentari bergegas menuju peraduan bersama rasa lelah
menggelayuti cahayanya. Yang cahayanya dibuat berubah menjadi sedikit
kemerahan. Yang aku sering memanggilnya dengan Temaram. Di kala
kau (baca: senja) datang kembali ketika sang pagi telah berpulang, kau
mengingatkanku pada sebuah perpisahan. Perpisahanku dengan sang pagi
beserta cahaya benderang dari mentari. Seakan-akan cahaya benderangnya
ditelan dengan cahaya temarammu.
Kau
pasti tahu disudut mana aku suka menatapi langit temarammu, senja. Dari
depan pintu rumahku yang berhadapan langsung dengan tanaman-tanaman
kesayangan ibu. Dari sudut itu aku suka meneliti pergerakan awan yang
saling berkejaran dengan cahaya mentari sore.
Hei, lihat! Awan mendung itu mengganggu kecantikan yang dibuat oleh temaram, senja!
Selalu
timbul dibenakku, mengapa hujan suka sekali turun saat kau mulai
beranjak datang? Akhir-akhir ini, kotaku sering kedatangan hujan saat
kau mulai datang. Mengapa gerangan?
Apa kau mulai mencintai hujan, senja? Ku pikir kau salah untuk jatuh cinta dengan hujan.
Pernahkah
terlintas dipikiranmu akan nasib orang-orang yang hendak berpulang ke
rumahnya? Rasa lelah telah memenuhi diri mereka. Mereka ingin segera
melepas penat setelah seharian menguras tenaga yang telah disimpan
baik-baik disaku mereka. Mengertilah, senja. Aku ingin kau tahu bahwa
kadang mencintai seseorang dapat memberi luka bagi orang lain. Hidup ini
serba kontras. Ada yang merasa bahagia atas pertemuanmu dengan hujan,
ada pula yang bersedih hati atas turunnya hujan bersamaan dengan
datangnya dirimu. Sejujurnya, aku suka hujan. Tapi tak selalu. Kadang
hujan dapat menorehkan pupus yang tak berujung bagi orang yang sudah
memiliki rencana. Mereka adalah orang yang menjadikan hujan sebagai
alasan mengapa gagal. Ku harap kau mengerti bahwa kau telah mencintai
sesuatu yang salah. Bukannya salah, tapi tak sejalan dengan hati yang
mencintai temaram.
Cinta tak pernah salah menilai
temaram. Hanya saja, kadang temaram harus mengalah dengan awan mendung
yang menjadi pertanda akan turun hujan. Haruskan temaram selalu
mengalah? Mungkin untuk cuaca yang tak menentu seperti sekarang ini,
temaram harus menurunkan egonya. Untuk memanjakan mata manusia. Cinta
kadang tidak tepat tempat, tapi cinta akan membawakan tujuan yang tepat
bagi yang tulus meyakininya. Ketahuilah, senja, cinta tak pernah salah
arah.
Lalu bagaimana, senja? Kau akan tetap mencintai hujan?
Salam untuk senja, beserta dengan temaramnya yang patut dirindukan.
Megan.
No comments:
Post a Comment