Thursday, February 9, 2017

Sepucuk Rindu untuk yang Ada di Langit Ke Tujuh

Hari ke Dua. Surat ke Dua.

Buat Mama,
Bersama dengan senyumnya, tawanya, dan segala resep masakan yang ia kuasai diluar kepala.
Di Surga.

Hai, Ma.
Malaikat kedua setelah ibuku.
Perempuan tua dengan umurnya yang sudah setengah abad lebih.
Detak jantung keduaku.
Tak ada lagi cita rasa dari sayur asem khas buatan tanganmu sendiri.
Tak lagi ku dengar suaramu yang selalu menanyakan mengapa aku tak kunjung menelponmu.
Tak bisa ku lagi genggam tangan halusmu walaupun kau gemar sekali membersihkan rumah, mencuci pakaian dan mencoba resep yang baru saja kau baca dari majalah kesukaanmu.
Aku merindukanmu sekarang, Ma.
Tapi sekarang kau telah menempati rumah barumu, Ma.

Hatiku seketika hancur setelah aku mengetahui kabar dari Mbak Indah (Baca : sepupuku atau anak dari mama) bahwa kau telah terbaring lemah di ruang rawat intensif dengan segala ke-tidak-pastian. Tangis selalu pecah sewaktu koneksi telepon tersambung antara ibu dan sepupuku. Mataku mampu menangkap segala momen tangis yang menyedihkan itu, Ma. Ingin rasanya aku segera berlari menuju ke tempat mama sedang dirawat sekarang. Tapi ada tali belenggu yang mengikat kakiku saat itu sehingga membuatku tak sanggup berlari. Aku sedang disibukkan dengan bermacam-macam kegiatan penyambutan mahasiswa baru. Kemudian aku teringat bahwa beberapa waktu yang lalu kau sempat memintaku untuk pergi ke Bekasi. (Ya, memang mama bertempat tinggal di Bekasi, Jawa Barat.) Sayangnya, aku beralasan jika aku masih ada kegiatan-kegiatan yang harus ku ikuti.
Maafkan aku, Ma.

Apa kabar, Ma? Aku sangat merindukanmu.
Maafkan aku yang tak bisa mengulang momen-momen yang sangat membahagiakan. Momen dimana kita saling bercengkrama, dengan secangkir teh buatanmu dan beberapa pisang goreng yang masih mengepul hangat tersedia di meja kaca rumahmu. Bahkan saat aku menulis surat cinta ini, air mataku selalu menggenangi sudut mataku dan akhirnya jatuh tak terbendung. Aku tahu, kau pasti tak suka karena aku selalu menangis saat mengingatmu.
Tapi mau bagaimana lagi, Ma? Hanya itu yang bisa ku lakukan sekarang selain mendoakanmu.

Beberapa waktu setelah aku akhirnya menginjakkan kaki di tanah kelahiranku, di Bekasi, aku segera bergegas menuju rumah sakit. Tempat dimana kau memejamkan mata selamanya.
Ku lihat dirimu telah terbaring tanpa ada napasmu yang sangat kukenali suaranya.
Terpejam selamanya. Sangat tenang.
Kau tak pernah membuka matamu saat aku telah tiba disisimu. Seakan-akan kau tak tahu jika aku akhirnya berdiri disampingmu dan menggenggam tanganmu yang sedingin es.
Kini kau tertidur lelap. Tanpa rasa sakit. Tanpa beban. Dengan damai disekelilingmu.
Namun, yang mengiringi kepergianmu adalah tangis penyesalan. Penyesalan tiada ujung. Mengapa kita bertemu lagi disaat kau telah menutup matamu? Untuk selamanya.

Yang paling menyedihkan adalah ketika sudah tiba saatnya kau harus dibawa ke tempat tidur abadimu. Ke pusaramu. Dan berarti peti harus segera ditutup dan dipasang semacam paku agar tutup peti tak goyah saat nanti kau ditempatkan. Itu adalah saat terakhir aku melihat wajahmu, tanganmu dan matamu yang terpejam selamanya.
Apalagi saat melihatmu perlahan dimasukkan ke tempat tidurmu yang tenang tanpa ada gangguan lagi. Biasanya aku selalu mengganggu tidurmu, karena saat aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar, kaki dan tanganku tak bisa diam. Selalu menendangi dan memukulimu. Itu adalah saat terakhir melihatmu berada di permukaan tanah.
Sekarang kau terlelap damai di dua meter dari tempatku berdiri. Dua meter di bawah permukaan tanah.

Tidurlah dengan nyenyak, Ma. Aku tak akan mengusik tidurmu lagi.

Sekarang aku sudah jadi mahasiswa, Ma.
Belum sempat kau melihatku menjadi seorang mahasiswa,
Belum mendengar keluh kesah tentang banyaknya tugas yang menumpuk,
Belum menjadi orang yang pertama mendengar bahwa skripsiku selesai dan aku akan di wisuda dari perguruan tinggi,
Kau belum sempat mendengar kabar bahagia dariku, Ma.

Mama, aku hanya ingin kau tetap mendengar kabar baik dariku di rumah barumu, di surga. Di rumahmu yang ada di antara kumpulan awan ke tujuh.
Aku hanya ingin senyummu selalu mengembang di langit sana.
Aku ingin kau mengingat segalanya tentangku, tentang masa kecilku yang terkadang nakal ataupun tentang aku yang belajar untuk menjadi dewasa.
Kau selalu berada disini, disisiku, dilubuk hatiku yang sudah tersedia untuk menyimpan memori tentangmu.
Mengertilah, Ma. Aku sangat-sangatlah mencintaimu.
Bahagialah, Ma.
Tenanglah, Ma.

Megen akan membanggakanmu.

Salam cinta,
Megan. Keponakanmu yang paling susah makan.

P.S : Mama disini adalah panggilan kesayanganku untuk kakak dari ibuku.

No comments:

Post a Comment