Monday, June 11, 2018

Si Pembawa Kabar

 Teruntuk : yang Jauhnya 529 km di barat sana. Yang sedang di Bandung, lebih tepatnya.


Sudah lama sekali sejak akhir tahun 2017, aku tak pernah menulis di lamanku ini. Mungkin kau tak butuh alasan mengapa aku selama ini hilang dari peredaran, tapi aku tetap punya alasan. Setidaknya untuk membagi denganmu tentang rentetan alasan-alasan basi.
Sebodo amat kau peduli atau tidak.

Jadi,
ku ucapkan, Hai, Halo.
Selamat kembali lagi ke peredaran. Banyak hal yang ingin ku ceritakan kali ini. Aku sudah banyak berjalan melalui tebing curam, mengarungi sungai yang berarus deras, dan menerjang angin yang membawaku terbang. Banyak hal yang selama ini terbangun dari hibernasinya untuk kembali pada kehidupannya masing-masing. Sekarang aku kembali dari peredaran. Aku ditarik kembali ke orbitku karena ada sebuah gravitasi dari sesuatu yang asing untuk diriku. Sedikit tentang yang asing itu akan ku tuangkan di sini. Di surat ini.

Surat kali ini, ku tujukan untuk dia yang pernah berdiri di puncak Gunung Semeru. Kakinya itu mungkin pernah menapaki bebatuan-bebatuan keras. Tangannya itu mungkin saja pernah robek-- terkena sayatan tanaman yang tak tahu namanya apa. Kulit wajahnya mungkin pernah terbakar karena terpapar mentari terlalu lama di Mahameru.

Aku tak mengenal laki-laki ini sebelumnya.
Tapi pertemuan kita di bulan Ramadhan tahun ini, membawaku pada sebuah obrolan yang tak mengenal kata habis.
Kau seperti pembawa kabar dari negeri di atas awan. Pembuka cakrawala yang punya caranya sendiri untuk membukakan duniamu kepada diriku yang masih di rundung gundah.
Entah apa rencana Tuhan yang akan diberikan kepada kita esok hari,
Apakah kau akan membagi kisah tentang petualanganmu di bawah awan cerah Ranu Kumbolo?
Apakah kelak kau akan menceritakan tentang angin nakal yang pernah menerpa rambutmu di Merapi?
Apakah kau akan memegangi tanganku saat kita bersama melangkah di jalur pendakian Prau?
Apakah akan ku lihat lagi matamu saat senja turun di kota tempat kita bertemu?

Tapi, kau jauh disana.
Entah di bawah langit yang berwarna apa kau berdiri sekarang. Kau pasti tahu, rindu adalah buah dari jarak. Jarak yang terbentang diantara kita saat ini membawaku pada sebuah kalimat yang pernah ku tulis beberapa pekan yang lalu :
"Mengapa ada jarak? Supaya kita bisa sama-sama belajar bagaimana caranya mengantarkan rindu."

Satu hal yang tak perlu kau tanyakan lagi tentang aku saat ini,
Aku rindu.
Rindu melihat matamu yang kontras dengan hidungmu saat kau menoleh ke belakang.
Menatapku sedikit karena kau sibuk dengan jalanan kota Solo.
Kemudian senja menepati janjinya saat itu juga -- Senja akan selalu indah bagi siapapun yang menyadarinya.

Si Pembawa Kabar datang dengan langkahnya yang tertatih,
Membawa kabar dari ketinggian beribu-ribu meter dari permukaan laut.
Masih ada 2 Senin yang harus ku tunggu sebelum kau kembali merantau di kota kecil ini.
Ku harap kau mampu merajut segala rindu untuk menyelimuti tubuhmu dari dinginnya kota Bandung.

Akan kutulis lagi surat tentangmu,
Tapi tak malam ini, mungkin malam lain.

Salam,
Megan. Yang selalu memutar lagu karya Banda Neira yang berjudul "Biru".

No comments:

Post a Comment